Perlindungan terhadap anak bukan hanya untuk kepentingan anak semata. Dalam kesatuan sistem sosial, anak merupakan bagian dan menjadi generasi penerus dalam sebuah masyarakat. Perlindungan dan pengembangan hak-hak anak dengan sendiri menjadi bagian pembangunan masyarakat. Konsep demikian berlaku bagi masyarakata modern di manapun, baik dalam konteks lokal, regional, maupun internasional.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B (2) menyatakan bahwa :
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Undang-undang Hak Asasi Manusia pasal 33 (1) menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusian”, sedangkan pasal 29 (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”. Undang-undang Perlindungan Anak pasal 13 (1) menyatakan “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya”. Pasal 59 menyatakan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya , anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Namun kenyataannya, cita-cita ideal tersebut masih jauh dari harapan, berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi yang tercermin pada masih adanya anak-anak yang mengalami, kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi khususnya di jalanan.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1989, berdasarkan Keppres No 36/1990. Konvensi itu mulai berlaku di Indonesia sejak 05 Oktober 1990. Meski demikian kesungguhan Indonesia untuk memenuhi hak-hak anak sejak awal sudah diragukan. Keraguan itu muncul ketika meratifikasi konvensi ini, pemerintah mengeluarkan deklarasi bahwa pemerintah tidak akan menerima kewajiban apapun untuk memperkenalkan hak-hak yang tidak terdapat dalam UUD 1945. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan reservasi terhadap Pasal 17 (tentang hak memperoleh informasi), Pasal 21 (tentang adopsi) dan Pasal 22 (tentang pengungsi anak).
Reservasi merupakan kelemahan konvensi itu. Jadi, semua negara yang meratifikasi konvensi ini memang wajib melaksanakan semua ketentuan di dalamnya. Tujuan utama ratifikasi ini adalah untuk meningkatkan kondisi kehidupan anak-anak di negara tersebut. Namun demikian, setiap negara masih boleh melakukan reservasi terhadap salah satu atau beberapa pasal yang ada. Reservasi adalah pernyataan keberatan suatu negara untuk tidak terikat pada pasal-pasal.
No comments:
Post a Comment