Tuesday, October 12, 2010

Larangan Eksploitasi Anak

Anak-anak, yang dalam rumusan KHA adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, telah menjadi objek bagi “orang dewasa”. Di Indonesia, mereka telah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi, seksual dan “harga diri”. Kemiskinan, selama ini dijadikan alasan kuat mengapa anak-anak jalanan tersebut akhirnya secara sadar atau tidak dieksploitir oleh sekelompok orang atau lembaga. Selain itu, kehidupan rumah tangga orang tua yang tidak harmonis juga memicu anak-anak untuk mencari sesuatu sebagai tempat bergantung dalam proses pelarian mereka.
Banyak anak-anak jalanan dijadikan komoditas seks tanpa menghiraukan dampak luas yang akan ditimbulkannya. Inilah yang disebut sebagai eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Sebuah konsep yang digunakan untuk merujuk pada penggunaan seksualitas anak oleh orang dewasa dengan mempertukarkannya dengan imbalan, baik berupa uang tunai atau in natura. Imbalan dapat diterimakan langsung kepada anak ataupun kepada orang lain yang mendapatkan keuntungan komersial dari seksualitas anak.
Ada 3 bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak jalanan. Yakni:
(1) pelacuran anak,
(2) perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan
(3) pornografi anak.
Eksploitasi seksual komersial dibedakan dengan eksploitasi seksual nonkomersial, yang biasa disebut dengan berbagai istilah seperti pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual, dll. Dalam eksploitasi seksual komersial, eksploitasi seksualitas anak sekaligus dibarengi dengan eksploitasi ekonomi.
KHA dalam pasal 34 (a)-nya telah memberikan harapan baru bagi perlindungan anak-anak korban eksploiatsi seksual ini. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa, Negara peserta berupaya melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual. Untuk tujuan ini, negara peserta pada khususnya akan mengambil semua langkah di tingkat nasionalk, bilateral dan multilateral untuk mencegah:
a. Penjerumusan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang terlarang;
b. Penggunaan eksploitatif anak dalam melaksanakan pekerjaan di jalanan;
c. Penggunaan eksploitatif anak dalam penunjukan dan bahan-bahan pornografis.
Eksploitasi anak dengan sengaja membiarkan anak-anak untuk bekerja di jalanan untuk tujuan ekonomi adalah satu bentuk eksploitasi yang saat ini mewabah dalam lalu lintas hubungan manusia di Indonesia. Banyak kasus yang terjadi, selain kasus anak jermal yang disebutkan di atas, ditemukan juga berbagai aktifitas perdagangan atau proses memindahkan anak dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial yakni, menjadi buruh anak di perkebunan, pembantu rumah tangga dan menjadi peminta-minta di banyak persimpangan jalan (lampu merah). Kegiatan ini sangat berbahaya sekali bagi pertumbuhan dan keselamatan anak itu sendiri, tatkala sejak awal, diluar batas kesadarannya,anak-anak digiring dalam dunia kerja yang belum sanggup di pikul. Anak-anak, selanjutnya akan terbiasa dengan uang, mulai mengkonsumsi rokok (bagi anak laki-laki), terlibat dalam hubungan seksual yang menyimpang, dan pada satu titik tertencu cenderung untuk melakukan kejahatan.
Anak-anak yang bekerja di jalanan juga sangat rentan dengan kecelakaan dan kekerasan. Banyak sekali kasus sejumlah anak-anak yang harus mati dalam usia muda.
Anak-anak yang dieksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan ekonomis jelas akan kehilangan waktu belajar, bermain dan berfantasi, yang sebenarnya menjadi milik mereka. Waktu luang mereka telah dirampas pada usia yang sangat dini. Orientasi hidup mereka telah dibentuk sejak kecil untuk mengartikan hubungan kemanusian sebatas hubungan kontrak antara pihak yang membutuhkan dan diri mereka sendiri. Tangan-tangan kecil mereka telah dibiasakan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan yang selayaknya dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 32 KHA telah memberi beban kepada negara untuk melindungi anak-anak ini dengan menyebutkan: “ negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbhahaya atau mengganggu pendidikan, atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spritual , moral atau sosial anak.
Satu contoh eksploitasi yang selama ini juga tidak banyak diungkit ke permukaan adalah perlakuan kekerasan yang dialami oleh anak-anak yang diduga telah melakukan kejahatan (anak yang berkonflik dengan hukum). Para pelaku cilik kejahatan ini acap kali mengalami eksploitasi dalam bentuk penyiksaan, perlakuan ataupun hukuman yang tidak setimpal (perampasan kebebsan/kemerdekaan secara semena-mena) oleh para polisi, jaksa, hakim dan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam lembaga pemasyarakatan. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini, diperlakukan secara berbeda dengan pelaku kejahatan yang dewasa. Namun dalam prakteknya, anak-anak ini tidak mendapatkan hal tersebut. Di tingkat kepolisian mereka disatukan dengan tersangka tindak pidana dewasa lainnya. Di tingkat kejaksaaan, sering ditahan untuk waktu yang melebihi dari batas waktu. Dan di dalam proses peradilan selalu menerima vonis penjara dari hakim, seolah-olah hanya itulah ancaman hukuman yang tersedia bagi mereka. Padahal pilihan hukuman penjara dalam KHA dan aturan hukum internasional lainnya haruslah menjadi pilihan terakhir bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada mereka. Masih ada pilihan lain, seperti dikembalikan kepada orang tua, mendapatkan pengasuhan dari satu lembaga sosial yang ditunjuk negara atau menjadi anak negara.
Hambatan-hambatan yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak karena tidak ada kerjasama antara pihak-pihak dari instansi terkait, yaitu Pemerintah Daerah, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pembinaan, pemeliharaan dan perlindungan hak-hak anak, ditambah Iagi ketidakpedulian masyarakat sebagai orang tua asuh, dan kurangnya pengetahuan orang tua terhadap pendidikan dan kebutuhan hak-hak anak. Kemudian Pemerintah Daerah pun tidak melakukan sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat luas, dan kurangnya kesadaran pihak eksekutif dan legislatif tentang masalah anak terlantar dan anak jalanan. Sebab-sebab terjadinya hambatan karena tidak ada peraturan dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang khusus mengatur tentang perlindungan anak terlantar dan anak jalanan dalam peraturan daerah.
Peran Pemerintah dalam mewujudkan peraturan dan undang-undang perlindungan anak, baru pada tahap memberikan bantuan dana untuk anak-anak terlantar di panti asuhan, sedangkan untuk anak jalanan baru dibuat rumah singgah dan ditambah biaya-biaya buku bacaan sekolah bagi anak yang tidak mampu dengan cara mendatangi ke sekolah-sekolah. Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota supaya membuat secara khusus peraturan daerah mengenai anak terlantar dan anak jalanan. Pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat diharapkan dapat membangun panti asuhan dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga anak-anak yang dilatih ketrampilan di panti tersebut, kelak dapat merubah taraf hidupnya ke arah yang lebih baik. Kemudian &sarankan juga kepada orang tua atau wali supaya dapat melakukan hadhanah (mengasuh anak) dengan penuh tanggung jawab supaya perhatian, kasih sayang dapat terbentuk dalam jiwa anak, sehingga anak tidak terlantar dan tidak turun ke jalan, serta dapat terpenuhi hak-hak anak secara seimbang.

No comments:

Post a Comment