Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dari tergugat tentang hal
pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini pun pada hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya adalah bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat keterangan tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat.
Sebagai contoh, pada awalnya tergugat mengakui gugatan penggugat, namun kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk tidak memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan oleh tergugat karena misalnya dia telah melakukan kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat) kini mempunyai tagihan dari penggugat. Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:
"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya,menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberipengakuan. Apabila ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya, konsekuensinya dia akan dikalahkan.
Akibatnya maka tuntutan penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan.Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW).
Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan,
kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat. Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya penggugat diwajibkan untuk membuktikan kebenaran gugatannya.
Pada umumnya penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu:
Pertama, dia menolak seluruh pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri;
Kedua, membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti, maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna serta mengikat.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
- Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
- Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya masing-masing.
- Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
- Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
- Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran material.
- Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana.
No comments:
Post a Comment