Saturday, August 20, 2011

Asas-Asas Hubungan Internasional


Asas-asas Hubungan Internasional
Dalam hubungan antar bangsa diperlukan adanya asas-asas yang sesuai.
Asas-asas tersebut antara lain :

a. Asas Persamaam Harkat, Martabat dan Derajat.
Hubungan antar bangsa hendaknya didasarkan asas bahwa negar-negara yang berhubungan adalah Negara yang berdaulat. Harus dijunjung tinggi harkat dan martabatbya oleh setiap negara yang berhubungan agar terwujud persamaan derajat sehingga saling menghormati, menjaga hubungan baik dan saling menguntungkan.

b. Asas Teritorial
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya, sehingga negara berhak melaksanakan peraturan atau hukum bagi semua orang dan barang di wilayah negara tersebut

c. Asas Kebangsaan
Asas ini didasarkan kekuasaan negara atas warga negaranya sehingga setiap warga negara dimanapun berada tetap mendapat perlakuan hokum dari negaranya.

d. Asas Kepentingan Umum
Asas ini didasarkan kewenangan negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam hal ini negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum.

e. Asas Keterbukaan
Dalam hubungan antar bangsa diperlukan adanya saling tukar informasi yang berkaitan dengan bidang hubungan antar bangsa yang dilakukan. Asas keterbukaan mendorong iklim yang kondusif bagi perkembangan hubungan antar bangsa ,karena dapat saling mengisi kekurangan di setiap Negara, saling meningkatkan kepercayaan dan saling memberikan masukan yang konstruktif.

Selain tersebut diatas, dalam hubungan internasional juga dikenal beberapa asas yaitu :

a. Pacta sunt servanda, adalah setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan pejanjian

b. Egality rights, adalah pihak yang saling mengadakan hubungan itu berkedaulatan sama.

c. Reciprositas, adalah tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibahas seimbang,baik tindakan yang bersifat negatife maupun positif.

d. Courtesy, adalah asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara

e. Rebus sig stantibus, adalah asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar dalam keadaan yang bertalian denngan perjanjian itu.

Saturday, May 14, 2011

Mengulang kalimat yang dulu saya cantumkan di halaman depan skripsi saya : "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kau buat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya."

Tuesday, April 12, 2011

Sistem Peradilan (Susunan dan Kekuasaan)

Susunan dan kekuasaan pengadilan di Indonesia

Di Indonesia terdapat bermacam-macam pengadilan yang dpaat dibedakan dalam :
1.   Pengadilan sipil, terdiri dari :
a.    Pengadilan umum :
I.                 Pengadilan negeri
II.             Pengadilan tinggi
III.         Pengadilan agung
b.   Pengadilan khusus
I.                 Pengadilan agama
II.             Pengadilan adat
III.         Pengadilan administrasi negara
2.   Pengadilan militer
a.    Pengadilan tentara/ Mahkamah Militer
b.   Pengadilan tentara tinggi/ Mahkamah Militer Tinggi
c.    Pengadilan tentara agung/ Mahkamah Militer Agung

Pengadian negeri dan pengadilan tinggi diatur dalam UU darurat no 1/1951 dan UU no.13/ 1965 tentang : Peradilan dalam lingkungan pengadilan umum dan MA.
Mengenai MA juga diatur dalam UU no.13/1965 dan UU no.14./1970 yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.

Sistem Peradilan (Kejaksaan)


Kejaksaan
Kejaksaan merupakan suatu bagian kenegaraan. Badan penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1 ayat 1 UU no 15/1961)
Dalam melaksanakan tugasnya, kejaksaan harus selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara (pasal 1 ayat 2)
Dalam menjalankan peranan praktis (pasal 13) jaksa dapat memohon bantuan kepolisian negara yang juga diberi wewenang penyidikan perkara.
Mengenai pembagian tugas antara kepolisian negara dan kejaksaan perlu ditegaskan bahwa penuntutan perkara diserahkan semata-mata pada kejaksaan dengan pengertian bahwa dalam hal-hal tertentu menurut dan ditetapkan dalam hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lain, kepolisian negara berwenang mengajukan suatu perkara pidana langsung kepada pengadilan negeri, misal : perkara rol (pelanggaran/ kejahatan ringan)
Berhubung dengan hal bahwa kejaksaan berwenang melakukan penyidikan lanjutan, maka perlu adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur kerjasama antara kepolisian negara dan kejaksaan dalam penyidikan lanjutan, yang diatur tersendiri antara instansi-instansi yang bersangkutan.
Dalam praktek kepolisian negara, berdasarkan kepentingan umum dapat mengesampingkan suatu perkara yang serba ringan, sehingga perkara itu tidak sampai pada tingkat penuntutan oleh jaksa.
Berhubung dengan penuntutan perkara yang menjadi tugas semata-mata dari kejaksaan ditambah wewenang jaksa agung untuk menyimpan atau mengesampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum (asas oportunitas) berlaku prosedur (acara), bahwa kepolisian negara diajak berunding sebelum diambil tindakan mengesampingkan oleh jaksa agung.
Kejaksaan bertugas :
1.   a, Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang.
b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana.
2.   Mengajukan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam UU hukum acara pidana dan lain-lain peraturan negara.
3.    Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
4.   Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara.

Sistem Peradilan (Mahkamah Agung)

MA menjadi badan pengadilan yang berwenang menjalankan kasasi dan peninjauan kembali.

Pasal 26 ayat 1 : MA berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari UU dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ayat 2 : putusan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi, tetapi pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah itu tidak dilakukan oleh MA karena MA tidak diberi wewenang legislatif, tetapi dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Pasal 15 ayat 1 : Semua pengadilan memeriksa dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim, kecuali apabila UU menentukan lain.
Pasal 17 ayat 1 : Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali bila UU menentukan lain.
Ayat 2 : Kalau tidak dipenuhi mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum.
Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia, sehingga keputusan pengadilan tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan diluar badan-badan pengadilan.

Pasal 18 : Menjamn tidak adanya peradilan rahasia : semua keputusan pengadilan hanya syah dan mempunyai kekuatan hukum bila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Agar nasib yang bersangkutan tidak tergantung pada keputusan satu badan pengadilan saja, maka peradilan dapat dijalankan dalam 2, yaitu tingkat pertama dan jika perlu tingkat banding (pasal 14)

Badan pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan negeri, yang ada disetiap kabupaten atau kota madya.
Badan pengadilan dalam tingkat kedua adalah pengadilan tinggi yang mengadili dalam tingkat banding.
Pengadilan tinggi dapat :
1.   Memperkuat keputusan pengadilan negeri, atau
2.   Menolak keputusan pengadilan negeri.
3.   Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk memeriksa kembali perkara yang telah diputuskan.

Atas keputusan pengadilan tinggi tidak ada lagi banding, hanya ada kemungkinan diadakan kasasi oleh MA.
Peradilan MA bukan peradilan dalam tingkat ketiga, karena dalam kasasi hanya diselidiki apakah hukum dijalankan secara tepat, jadi tidak lagi fakta-fakta perkara diselidiki. Penyelidikan fakta-fakta perkara telah dilangsungkan dalam tingkat pertama dan tingkat banding.
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (pasal 35)

Dalam perkara seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penagkapan/ penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum untuk memperkuat kedudukan yang diadili dalam sidang pengadilan (pasal 36)

Untuk memperkuat kedudukan obyektif seorang hakim dan melindunginya terhadap pengaruh yang kurang baik yang dapat mengurangi keobyektifan pendapat hakim, maka : bila seorang hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, penasehat hukum atau panitera dalam suatu perkara tertentu, dia wajib emngundurkan diri dari pemeriksaan perkara (pasal 28 ayat 2)

Begitu pula bila ketua, hakim anggota, penuntut umum atau panitera masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan yang diadili dia wajib mengundurkan diri dipemeriksaan perkara itu (pasal 28 ayat 3)

Pada pengadilan negeri dapat diadakan suatu pengadilan ekonomi (pasal 35 LN 1955 no 27) dan pada pengadilan tinggi dapat diadakan suatu pengadilan tinggi ekonomi (pasal 47 LN 1955 no 27). Dua jenis badan pengadilan ini mengadili delik-delik ekonomis.

Berdasarkan perundang-undangan ini juga mengatur kasasi pada MA. Berdasarkan pasal 9 Penpres no 11/ 1963 (sekarang sudah berlaku sebagai UU biasa) pada pengadilan negeri dapat diadakan pengadilan subversi.

Di Indonesia masih tetap berlaku peradilan agama yaitu perkara yang menyangkut agama Islam.
Pengadilan ini juga disusun dalam dua tingkat : di Jawa dan Madura ada pengadilan agama, sebagai pengadilan banding diadakan Mahkamah Islam di Solo. Di Kalimantan ada pengadilan Kadi dan pengadilan banding : Mahkamah Kadi diadakan di Banjarmasin.

PP no 45/ 1957 mengatur dibentuknya pengadilan agama dan mahkamah syari’ah diluar Jawa dan Madura. Menurut UU no 1/1974 tentang perkawinan yang dilaksanakan menurut PP no 9/ 1975 : setiap keputusan pengadilan agama harus dikukuhkan oleh pengadilan negeri.
Sekarang setiap pengadilan negeri melakuan pengadilan

Sistem Peradilan


DEPT. KEHAKIMAN

DEPT. AGAMA

MAHKAMAH AGUNG

DEPT. HANKAM








PT

PTA

MMA

PTTUN
PN

PA

MMT

PTUN




MM




: Pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi di MA

: Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan


Susunan Pengadilan di Indonesia diatur dalam UU No. 14 tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Pasal 10 ayat 1 menetapkan : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1.   Peradilan Umum
2.   Peradilan Agama
3.   Peradilan Militer
4.   Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 10 ayat 2 menetapkan : MA adalah pengadilan negara tertinggi.
Pasal 10 ayat 3 menetapkan : terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain daripada MA, kasasi dapat diminta kepada MA
Pasal 10 ayat 4 menetapkan : MA melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan UU
Pasal 20 : Atas putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada MA oleh pihak-pihak yang diatur dalam UU
Pasal 21 : Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan UU terhadap putusan pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada MA, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.



Friday, March 11, 2011

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILTY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA-BENDA ANTARIKSA, 1972)


KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 1996
TENTANG
PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILTY FOR
DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI
TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP
KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA-BENDA
ANTARIKSA, 1972)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.         bahwa sebagai hasil Sidang United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space, telah diterima pada tanggal 29 Nopember 1972 Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects, 1972  (Konvensi tentang Tanggung jawab Internasional terhadap Kerugian yang di-sebabkan oleh Benda-benda Antariksa, 1972);
b.         bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan Amanat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu untuk mengesahkan Convention tersebut dengan Keputusan Presiden;

Mengingat:
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945;

                                                               MEMUTUSKAN :

Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI  TENTANG TANGGUNG JAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA-BENDA ANTARIKSA, 1972).

Pasal  1

Mengesahkan Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects, 1972 (Konvensi tentang Tanggung jawab Internasional terhadap Kerugian yang disebabkan oleh Benda-benda Antariksa, 1972), yang telah diterima di dalam Sidang United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space, pada tanggal 29 Nopember 1972, yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggeris  serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia di-lampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan Presiden ini.

Pasal   2

Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Convention dalam bahasa Indonesia dengan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggeris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, maka yang berlaku adalah salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggeris.

                                                                      Pasal   3

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan  di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MOERDIONO

                                                          ‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑‑

                                                                     CATATAN

                                                                                                                        Lampiran "B"

KONVENSI TENTANG TANGGUNG JAWAB INTERNASIONAL
TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA
ANTARIKSA, 1972

            Negara-negara peserta konvensi ini,

            Mengakui, kepentingan bersama umat manusia dalam melanjutkan usaha pengeksplorasian dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai,

            Mengingat, perjanjian tentang prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan negara-negara dalam pengeksplorasian dan penggunaan antariksa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya,

            Menimbang, meskipun tindakan pencegahan telah dilakukan oleh negara-negara dan organisasi internasional antar pemerintah yang terlibat peluncuran benda antariksa, kerugian dapat terjadi oleh benda tersebut,

            Mengakui, perlu untuk mengefektifkan hukum internasional dan tata cara yang berhubungan dengan tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh benda antariksa dan untuk menjamin khususnya dalam menjamin adanya ketepatan pembayaran ganti rugi kepada negara korban yang terkena kerusakan berdasarkan konvensi ini.

            Berkeyakinan, bahwa pembentukan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur demikian akan merupakan sumbangan dalam meningkatkan kerjasama internasional di bidang pengeksplorasian dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai.

            telah menyetujui sebagai berikut:

                                                                        Pasal I

Yang dimaksud dalam Konvensi ini:

(a)       Pengertian "kerugian" berarti: kematian, luka-luka atau bentuk lain dari terganggunya kesehatan seseorang atau hilangnya atau rusaknya harta milik negara atau milik pribadi, atau badan hukum atau harta benda organisasi internasional antar pemerintah;
(b)       Pengertian "peluncuran" meliputi juga upaya-upaya peluncuran;
(c)       Pengertian "negara peluncur" berarti:

                        1)         negara yang meluncurkan atau ikut berperan serta dalam pelaksanaan peluncuran benda antariksa;
                        2)         negara yang wilayah atau fasilitasnya digunakan untuk peluncuran benda antariksa
                        d)         Istilah "benda antariksa" meliputi bagian-bagian komponen benda antariksa, kendaraan peluncur dan bagian-bagiannya.

                                                                        Pasal II

            Negara peluncur harus bertanggung jawab secara mutlak untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh benda antariksanya terhadap permukaan bumi atau terhadap pesawat udara dalam penerbangan.

                                                                       Pasal III

            Dalam hal terjadi kerugian terhadap benda antariksa dari satu negara peluncur, personil atau benda-benda yang ada di dalam benda antariksa tersebut yang berada di luar permukaan bumi oleh benda antariksa milik negara peluncur lainnya, maka negara penyebab kerugian itu bertanggungjawab terhadap kerusakan hanya jika kerusakan tersebut disebabkan oleh kesalahannya atau kesalahan personil yang di bawah tanggungjawabnya.

                                                                       Pasal IV

1.         Dalam hal kerugian terhadap benda antariksa negara peluncur atau terhadap personil atau benda yang berada dalam benda antariksa tersebut yang berada di luar permukaan bumi oleh benda antariksa milik negara peluncur lainnya, dan kerusakan tersebut berakibat pada negara ketiga atau terhadap orang-orang atau badan hukum yang secara yuridis berada dinegara ketiga tersebut, kedua negara penyebab kerusakan harus bertanggungjawab secara bersama dan sendiri-sendiri terhadap negara ketiga dengan ketentuan sebagai berikut:

            (a)        Bila kerugian pada negara ketiga terjadi pada permukaan bumi atau terhadap pesawat udara dalam penerbangan, maka kedua negara yang menyebabkan kerusakan bertanggungjawab mutlak terhadap negara ketiga;

            (b)        Bila kerugian terjadi bukan pada permukaan bumi tetapi pada benda antariksa negara ketiga atau terhadap orang-orang atau benda yang berada dalam benda antariksa, maka tanggung jawab kedua negara yang menyebabkan kerusakan terhadap negara ketiga harus didasarkan pada kesalahan kedua negara penyebab kerusakan atau kesalahan personil di bawah tanggung jawab masing-masing kedua negara yang menyebabkan kerusakan tersebut;

2.         Dalam hal tanggung jawab secara bersama dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang dinyatakan dalam ayat 1 pasal ini, beban ganti rugi terhadap kerusakan dibagi secara adil antara kedua negara penyebab kerusakan sesuai dengan besarnya kesalahan, bila besarnya kesalahan masing-masing tidak dapat ditentukan, tanggung jawab ganti rugi harus dibagi sama antara kedua negara tersebut. Pembagian tersebut harus tanpa mengurangi hak negara ketiga untuk mendapatkan seluruh ganti rugi yang harus dibayar berdasarkan konvensi ini dari salah satu atau semua negara peluncur yang secara bersama dan sendiri-sendiri bertanggungjawab.

                                                                       Pasal V

1.         Bilamana dua atau lebih negara bersama meluncurkan sebuah benda antariksa, mereka secara bersama atau sendiri-sendiri bertanggungjawab atas setiap kerusakan yang disebabkan oleh mereka.
2.         Negara peluncur yang telah membayar ganti rugi atas kerugian, mempunyai hak untuk menuntut penggantian kepada negara peserta lainnya yang ikut dalam peluncuran bersama tersebut. Negara peserta dalam suatu peluncuran bersama dapat membuat perjanjian tentang besarnya tanggung jawab keuangan yang menjadi kewajiban mereka terhadap hal-hal yang merupakan tanggung jawab mereka bersama atau tanggung jawab mereka sendiri-sendiri. Perjanjian tersebut harus tanpa mengurangi adanya hak 1 negara yang menderita kerusakan untuk memperoleh semua ganti rugi berdasarkan konvensi ini dari setiap atau semua negara peluncur secara bersama dan atau sendiri-sendiri.
3.         Negara yang wilayah atau fasilitasnya digunakan untuk meluncurkan benda antariksa harus dianggap sebagai peserta dalam peluncuran bersama.

                                                                       Pasal VI

1.         Sesuai dengan ketentuan ayat 2 dari Pasal ini, pembebasan dari tanggung jawab mutlak harus diberikan sejauh negara peluncur menyatakan bahwa kerusakan tersebut secara keseluruhan atau sebagian disebabkan oleh kelalaian berat atau kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan dengan maksud menyebabkan kerugian pada pihak negara penuntut atau terhadap orang-orang, alam dan badan hukum atau negara yang mewakilinya.
2.         Tidak akan ada pembebasan diri dari tanggung jawab apapun yang dapat diberikan dalam kasus kerugian yang disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan negara peluncur yang tidak sesuai dengan hukum internasional termasuk, khususnya, piagam PBB dan Perjanjian tentang Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan negara-negara dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya.

                                                                      Pasal VII

            Ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini tidak berlaku terhadap kerugian yang disebabkan oleh objek antariksa dari negara peluncur terhadap:

(a)       Warga negara dari negara peluncur;

(b)       Warga negara asing selama mereka turut berpartisipasi dalam pengoperasian objek antariksa tersebut terhitung mulai saat peluncuran atau pada setiap tahap selanjutnya hingga pendaratan atau selama mereka berada di sekitar daerah peluncuran atau daerah recovery area yang direncanakan atas undangan negara peluncur.

                                                                      Pasal VIII

1.         Negara yang menderita kerugian baik orang-orang, pribadi atau badan hukum yang secara yuridis berada di bawahnya, dapat menuntut ganti rugi atas kerusakan tersebut kepada negara peluncur.
2.         Bila negara yang warganegaranya menjadi korban atas peritiwa yang terjadi di negara lain (State of nationality) belum melakukan penuntutan, negara lain dapat melakukan penuntutan atas kerusakan yang dialami terhadap alam, orang, badan hukum yang secara yuridis berada di wilayahnya melakukan tuntutan kepada negara peluncur.
3.         Bila negara yang warganegaranya menjadi korban, atau negara yang wilayahnya mengalami kerusakan belum mengajukan tututan atau belum memberitahukan akan mengajukan tututan, negara lain, dengan memperhatikan kerusakan yang dialami oleh penduduk tetapnya, dapat mengajukan tututan kepada negara peluncur.

                                                                       Pasal IX

            Tuntutan ganti guri kepada negara peluncur atas kerugian, harus diajukan melalui saluran diplomatik. Bila negara tersebut tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara peluncur, negara tersebut dapat meminta negara lain untuk mengajukan tuntutan terhadap negara peluncur atau dengan catatan menyatakan maksudnya atas dasar Konvensi ini. Negara tersebut dapat juga mengajukan tuntutannya melalui Sekjen PBB dengan ketentuan keduanya adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

                                                                       Pasal X

1.         Tuntutan ganti rugi atas kerugian harus diajukan kepada negara peluncur tidak lebih dari satu tahun terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian atau terhitung mulai tanggal diketahuinya negara peluncur yang bertanggung jawab.
2.         Bilamana satu negara tidak mengetahui telah terjadi kerusakan atau belum mampu mengetahui negara peluncur bertanggung jawab, negara tersebut dapat mengajukan tuntutan dalam waktu satu tahun terhitung mulai dari diketahuinya fakta-fakta adanya kerugian tersebut, tetapi periode ini tidak boleh melebihi satu tahun terhitung mulai tanggal negara tersebut mengetahui tentang fakta-fakta melalui penelitian yang intensif dan sungguh-sungguh.
3.         Batas waktu  yang dinyatakan pada ayat 1 dan 2 pada pasal ini dapat berlaku sekalipun seluruh kerusakan belum diketahui. Dalam hal ini, negara penuntut berhak merubah tuntutan dan menyerahkan dokumen tambahan setelah batas waktu habis, hingga satu tahun setelah seluruh akibat dari kerugian diketahui.

                                                                       Pasal XI

1.         Pengajuan tuntutan ganti rugi kepada negara peluncur atas kerugian berdasarkan konvensi ini, tidak mempersyaratkan upaya penyelesaian melalui prosedur ketentuan Hukum Nasional kepada negara-negara penuntut atau terhadap orang-orang atau pribadi, atau badan hukum yang menderita kerusakan.
2.         Tidak ada ketentuan dalam Konvensi ini yang dapat menghalangi negara atau pribadi atau orang-orang atau badan hukum untuk melakukan tuntutan dihadapan mahkamah atau peradilan administrasi atau suatu badan di negara peluncur. Namun demikian negara tidak dapat mengajukan tuntutannya dalam hal atas kerugian yang sama dihadapan mahkamah atau peradilan administrasi atau badan-badan dari negara peluncur berdasarkan Konvensi ini atau di bawah perjanjian Internasional lainnya yang mengikat kedua negara tersebut.

                                                                      Pasal XII

            Berdasarkan ganti rugi yang harus dibayarkan dan merupakan tanggung jawab negara peluncur berdasarkan konvensi ini ditentukan sesuai dengan hukum internasional dan prinsip keadilan dan "equity" agar supaya dapat melakukan perbaikan dalam keadaan semula terhadap orang-orang, pribadi dan badan hukum, Negara atau organisasi internasional yang diwakilinya dikembalikan seperti keadaan/kondisi sebelum terjadi kerugian/kerusakan.

                                                                      Pasal XIII

            Kecuali jika negara penuntut dan negara yang membayar kompensasi dalam hal penggantian ganti rugi berdasarkan konvensi ini, setuju dalam bentuk pengganti lain, ganti rugi harus dibayarkan sesuai dengan mata uang negara penuntut atau jika negara dimana ganti rugi dibayarkan itu membuat permohonan, maka pembayaran ganti rugi dapat ditentukan menutut mata uang negara penuntut.

                                                                     Pasal XIV

            Bila tidak ada penyelesaian penuntutan melalui saluran diplomatik seperti dinyatakan pada Pasal IX, dalam jangka satu tahun terhitung mulai tanggal negara penuntut memberi tahu negara peluncur tentang penyerahan dokumen tuntutannya, kedua belah pihak harus membentuk Komisi Penuntut atas permohonan salah satu pihak.

                                                                      Pasal XV

1.         Komisi Penuntut harus terdiri dari 3 anggota; satu ditunjuk oleh negara penuntut, satu ditunjuk oleh negara peluncur dan anggota ketiga, Ketua, dipilih bersama-sama oleh kedua belah pihak. Masing-masing pihak harus melakukan penunjukan anggota tersebut dalam waktu dua bulan terhitung mulai dari permohonan pembentukan komisi tersebut.
2.         Bila tidak dicapai persetujuan tentang Ketua dalam waktu empat bulan terhitung mulai dari permohonan pembentukan Komisi, salah satu pihak dengan persetujuan pihak lainnya dapat meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk menunjuk Ketua dalam waktu dua bulan berikutnya.

                                                                     Pasal XVI

1.         Bila salah satu dari kedua belah pihak tidak melakukan penunjukan dalam waktu yang telah ditentukan, maka atas permintaan pihak lain Ketua harus membentuk Komisi Penyelesaian Tuntutan yang beranggotakan tunggal.
2.         Setiap kekosongan yang mungkin timbul dalam Komisi Penyelesaian Tuntutan, apapun alasannya harus segera diisi berdasarkan prosedur yang sama seperti penunjukan semula.
3.         Komisi Penuntut harus menentukan sendiri prosedur penyelesaian.
4.         Komisi harus menentukan tempat sidang diadakan dan menangani seluruh masalah administrasi lainnya.
5.         Kecuali dalam hal keputusan Komisi beranggota tunggal, seluruh keputusan komisi harus didasarkan atas suara terbanyak.

                                                                     Pasal XVII

            Penanbahan anggota komisi Penuntut tidak diperbolehkan karena alasan adanya gabungan negara penuntut atau negara peluncur berada dalam salah satu proses persidengan di hadapan Komisi. Negara penuntut yang bergabung itu harus menunjuk satu anggota Komisi dengan cara yang sama dan tunduk kepada persyaratan yang sama seperti dalam hal negara penuntut tunggal. Bila negara-negara Penuntut atau negara Peluncur tidak melakukan penunjukan dalam waktu yang telah ditentukan, Ketua menentukan komisi beranggotakan tunggal.

                                                                    Pasal XVIII

            Komisi Penyelesaian Tututan harus menetapkan nilai-nilai tuntutan dan menetukan besarnya ganti rugi yang bisa dibayarkan, bila ada.

                                                                     Pasal XIX

1.         Komisi penuntut harus bertindak sesuai dengan ketentuan Pasal XII.
2.         Putusan komisi harus merupakan Keputusan final dan mengikat, bila kedua belah pihak menyetujui; bila tidak, komisi harus memberi putusan berupa rekomendasi akhir untuk mana para pihak harus mempertimbangkan dengan itikad baik. Komisi harus memberi suatu alasan atas putusannya kepada negara penuntut dan peluncur.
3.         Komisi harus memberikan putusan secepatnya dan tidak lebih dari 1 tahun sejak tanggal pembentukannya komisi tersebut, kecuali perpanjangan waktu dirasa perlu oleh komisi tersebut.

4.         Komisi harus mengumumkan putusannya dan harus menyampaikan salinan putusan kepada masing-masing pihak dan kepada Sekjen PBB.

                                                                      Pasal XX

            Biaya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Komisi Penyelesaian Tuntutan harus ditanggung sama besar oleh para pihak, kecuali bila ditentukan lain oleh Komisi.

                                                                     Pasal XXI

            Bila kerusakan yang diakibatkan oleh benda antariksa merupakan bahaya berskala besar bagi kehidupan manusia atau secara serius mengganggu kehidupan populasi atau fungsi pusat-pusat yang vital, Negara Peserta dan khususnya negara peluncur harus mempertimbangkan upaya secepat mungkin memberikan bantuan yang sesuai dan cepat kepada negara yang menderita kerusakan tersebut bila ada permohonan. Namun demikian tidak ada ketentuan dalam pasal ini yang mengatur hak dan kewajiban negara peserta Konvensi tentang hal ini.

                                                                     Pasal XXII

            1.         Dalam konvensi ini dengan pengecualian pada pasal XXIV s/d XXVII, setiap kali mengacu pada negara termasuk juga setiap organisasi internasional antar pemerintah yang melakukan dalam kegiatan antariksa, jika organisasi demikian itu menyatakan hak dan kewajiban yang diatur dalam konvensi ini, dan jika mayoritas negara anggota organisasi tersebut adalah sebagai anggota peserta Konvensi ini dan peserta perjanjian tentang Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya.

            2.         Negara-negara anggota dari setiap organisasi demikian itu yang sudah menjadi anggota peserta Konvensi ini, harus mengambil langkah yang sesuai untuk menjamin organisasi tersebut menyatakan diri sesuai dengan ketentuan-ketentuan ayat sebelumnya.

            3.         Bila organisasi internasional antar pemerintah yang bertanggung jawab atas kerusakan berdasarkan ketentuan-ketentuan konvensi ini, organisasi tersebut beserta anggota-anggotanya yang menjadi peserta perjanjian baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri harus bertanggungjawab dan mengambil tindakan sebagai berikut:

            (a)       Setiap tuntutan pembayaran ganti rugi akibat kerugian harus terlebih duhulu disampaikan kepada organisasi ;

            (b)       Bilamana organisasi belum dapat melakukan pembayaran dalam waktu 6 bulan, maka terhadap setiap jumlah ganti rugi yang telah disetujui atau ditentukan untuk setiap kerusakan, negara penuntut dapat meminta pertanggungjawaban kepada negara anggota organisasi yang juga sebagai anggota Konvensi untuk membayar jumlah kerugian tersebut.

            4.         Sesuai dengan ketentuan konvensi ini, setiap tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh organisasi yang telah membuat pernyataan sesuai dengan ayat 1 Pasal ini, harus diajukan oleh negara anggota organisasi yang juga merupakan negara anggota konvensi ini.

                                                                    Pasal XXIII

            1.         Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi ini tidak akan mempengaruhi perjanjian internasional lain yang berlaku antar negara peserta yang menjadi pihak dalam perjanjian yang bersangkutan itu.

            2.         Tidak satupun ketentuan dalam konvensi ini dapat mencegah kehendak negara untuk membuat perjanjian internasional untuk melakukan penyempurnaan, penambahan atau perubahan terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut.

                                                                    Pasal XXIV

            1.         Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua negara. Setiap negara yang tidak menandatangani konvensi ini sebelum masa berlakunya dapat turut serta setiap saat sesuai dengan ayat 3 dari pasal ini.

            2.         Konvensi ini harus diratifikasi oleh negara-negara penandatangan agar menjadi peserta. Piagam ratifikasi dan piagam aksesi harus disimpan pada Pemerintah Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara, Uni Republik Soviet Sosialis dan Amerika Serikat, yang ditetapkan sebagai Pemerintah Penyimpan.

            3.         Konvensi ini mulai berlaku pada saat negara kelima telah menyimpan piagam ratifikasi.

            4. Bagi negara-negara yang piagam ratifikasi atau piagam aksesi didepositkan setelah Konvensi, bagi negara tersebut berlakunya Konvensi ini adalah sejak pendepositan piagam ratifikasii atau akesesi tersebut.

            5. Pemerintah-Pemerintah Depositari, harus segera memberitahukan pada semua negara penandatangan dan pengaksesi, tanggal setiap pendatanganan dan tanggal setiap pendepositan piagam ratifikasi dam eksesi Konvensi ini, tanggal mulai berlaku dan pemberitahuan lain.

            6. Konvensi ini harus didaftarkan kepada Pemerintah Depositari sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.


                                                                    Pasal XXV


            Setiap negara peserta Konvensi ini dapat mengajukan perubahan terhadap ketentuan dalam konvensi ini. Perubahan-perubahan mulai berlaku bagi masing-masing negara peserta konvensi yang menyetujui perubahan tersebut terhitung mulai diterimanya perubahan tersebut secara mayoritas negara peserta. Bagi negara lain, berlakunya perubahan tersebut terhitung mulai saat negara tersebut menerimannya.


                                                                    Pasal XXVI


            Sepuluh tahun setelah mulai berlakunya konvensi ini, masalah peninjauan kembali Konvensi ini dapat dimasukkan dalam agenda Sidang Mejelis Umum PBB dengan maksud mempertimbangkan, berdasarkan penerapan pada masa yang lalu Konvensi ini apakah diperlukan perubahan. Tetapi pada setiap saat setelah Konvensi ini berlaku selama lima tahun, dan atas permintaan sepertiga negara peserta Konvensi dan dengan persetujuan mayoritas negara-negara peserta, konferensi itu dapat diadakan untuk meninjau kembali konvensi ini.


                                                                   Pasal XXVII


            Setiap negara peserta konvensi dapat menyatakan pengunduran diri setelah satu tahun masa berlaku Konvensi ini secara tertulis kepada Pemerintah Penyimpan. Pengunduran diri mulai berlaku satu tahun sejak tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut.


                                                                   Pasal XXVIII


            Konvensi ini, yang naskahnya dalam bahasa Inggris, Rusia, Perancis, Spanyol dan Cina yang kesemuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama harus disimpan pada arsip Pemerintah Negara Depositari. Pada waktunya, salinan yang sah dari Konvensi ini harus diserahkan oleh Pemerintah Depositari kepada negara-negara penandatangan dan negara aksesi.

            SEBAGAI TANDA BUKTI, yang bertanda tangan di bawah ini, yang dikuasakan sebagaimana mestinya untuk itu, telah menandatangani perjanjian ini.

            Dibuat rangkap tiga, di kota London, Moscow dan Washington, pada 29 Maret seribu sembilan ratus tujuh puluh dua.

Kutipan:LEMBAR LEPAS SETNEG TAHUN 1996
Sumber:LN 1996/30