Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.
Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa penjahat adalah..., dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap sebagai penjahat dengan sebutan “barang siapa” (Yesmil Anwar. 2004:5), tentunya penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata aliran klasik atau aliran positif tidak dapat bertahan lama, aliran-aliaran ini kembali mendapat kritikan dari aliran atau mazhab sosiologis. Dalam lapangan kriminologi, aliran ini paling banyak melahirkan variasi-variasi dan perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari ajaran ini adalah kelakuan-kelakuan jahat yang dihasilkan dari proses-proses yang sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya.
Bukan suatu penjungkirbalikan terhadap paham klasik, positivistik, namun merupakan sebuah perkembangan yang begitu dasyat dalam lapangan kriminologi. Edwin Hardin Sutherland (1883-1950), boleh kita sebuat sebagai seorang berani tampil beda dalam menelaah kejahatan, ”the white collar crime” adalah suatu hal yang bagus, yang ia hasilkan, bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas bawah, namun kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. J.E Sahetapy menyebut hal ini sebagai ”kejahatan dalam kemasan baru”.
Kejahatan dalam tataran seperti yang Sutherland kemukakan adalah merupakan ”educated criminals”. Dalam pandangannya, Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang berasal dari kelas-kelas sosial dan ekonomi yang rendah, kejahatan tersebut itu berupa, perampokan, pencurian, dan kekerasan lainya hal ini menunjukan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelas-kelas masyarakat yang lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti kemiskinan, atau fakto-faktor patologik yang bersifat individual.
No comments:
Post a Comment