Dalam pandangan hukum perilaku malpractice tidak dapat dituntut dengan Undang-undang (UU) Kesehatan No. 23 tahun 1992. Karena dalam UU tersebut tidak memberikan aturan tentang malpractice, ditambah lagi UU tersebut menuntut adanya pembuatan 29 Peraturan pemerintah (PP) yang mengatur lebih terinci hal-hal yang belum diatur dalam UU tersebut, sementara yang baru dibuat hanya 4 PP yang kesemuanya pun tidak secara tegas memberikan perlindungan terhadap konsumen. Diantaranya kelemahan peraturan yang ada adalah tidak adanya definisi yang jelas tentang malpractice, sehingga akan sulit ketika akan mengugat. Kelemahan yang lain Undang-undang No 23 tahun 1992 menjadi tidak efektif ketika pemberlakuan otonomi daerah, karena kantor-kantor wilayah kesehatan ditiadakan sebagai konsekuensi dari otonomi daerah.
Maka jika tuntutan terhadap perkara malpractice ini, biasanya hakim kembali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sifatnya lebih umum. Dalam KUHP untuk perkara ini biasanya dikenai pasal 359 mengenai kelalaian yang mengakibatkan kematian3.
Akan tetapi dari sudut pandang kriminologi perbuatan malpractice yang dilakukan dokter termasuk dalam kejahatan, karena kejahatan dipandang sebagai Tiap kelakuan yang merugikan (merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut . Selain itu Sellin mengatakan Kriminologi tidak hanya mempelajari perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga perbuatan yang melawan norma. Jadi walaupun perbuatan tersebut tidak termasuk sebagai perbuatan kejahatan menurut pandangan hukum, akan tetapi jika sudah menyinggung norma dan merugikan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang jahat. Dalam perbuatan malpractice yang dilakukan dokter walaupun tidak ada peraturan yang mengatur secara tegas, akan tetapi perbuatan tersebut sudah termasuk kejahatan, karena sudah merugikan pasien.
Model proses pidana yang berlaku
Dokter sebagai pelaku dalam perbuatan ini, menurut pandangan sistem sosial masyarakat Indonesia adalah golongan masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi. Hal ini dikarenakan kehadiran dokter bisa diibaratkan sebagai “dewa Penolong” yang sanggup menyembuhkan seseorang dari penyakit yang dideritannya. Kesempatan untuk menjadi dokter juga sangat sulit, karena harus ditempuh dengan pendidikan yang lama dan cukup sulit serta mahal. Status sosial yang tinggi ini menjadikan banyak anak-anak ketika ditanyakan kepadanya tentang cita-cita, mereka akan menjawab “ ingin jadi dokter”. Selain status sosial yang tinggi dokter juga dianggap “can’t do wrong”, karena kemampuan keilmuan dan keahlian yang mereka miliki, sehingga hampir semua yang disarankan oleh dokter akan dituruti oleh pasiennya. Bahkan ada anekdot5 yang menyatakan bahwa “ ada dua orang yang susah dinasehati yaitu kiai dan dokter” ( karena pekerjaannya menasehati orang lain).
Proses peradilan dalam kasus malpractice yang menjadikan dokter sebagai tersangka akan menemui banyak sekali kesulitan. Ketiadaan undang-undang/peraturan yang mengatur tentang malpractice sudah menjadi suatu persolan cukup rumit, sehingga kebanyakan kasus-kasus tersebut hanya dikenai pasal 359 KUHP, dan tidak menjurus pada pokok permasalahan tentang adanya malpractice. Padahal menurut Ketua YPPKI, dr. Marius Widjajarta, SE yang disebut malpractice adalah seorang profesional yang tidak melakukan pekerjaannya secara professional. Menurut pengertian lain Malpractice dikatakan sebagai :
Profesional misconduct or unreasonable lack of skill, failure of one rendering profesional service to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the comunity by the average prudent member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of these services or to those entitle to rely upon them” (Black,1968:111)6
Dapat diambil suatu pengertian bahwa pelaku malpractice ini adalah orang yang berkompeten dalam bidangnya tetapi tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Peristiwa malpactice yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya sebenarnya lebih tepat digolongkan kedalam White Collar Crime yang menurut Sutherland adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan status tinggi dan dilakukan denngan kaitannya dengan pekerjaannya.
Dalam proses peradilan kasus ini biasanya model peradilan pidana yang berlaku adalah Due Process Model, ini dikarena pelaku yang memiliki status sosial tinggi. Filosofi dasar dari model ini adalah menghargai sekali akan hak-hak tersangka sehingga, misalnya dalam melakukan pengkapan terhadap tersangka harus memperhatikan prosedur baku, serta lebih mementingkan efektifitas dari pada efisiensi8. Kenyataan ini dalam sistem peradilan pidana ternyata sangat nyata seperti pada kasus Tommy Soeharto yang ternyata memiliki hak-hak lebih di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Walaupun dalam konstitusi kita secara tegas dikatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahanan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27, tetapi pada kenyataannya pengecualian dalam praktek hukum masih saja terjadi.
Walaupun sebenarnya tidak berarti berlakunya Due Process Model dikarenakan adanya status sosial yang tinggi, akan tetapi karena watak dasarnya model ini yang lebih mementingkan proses formal sehingga terkesan hanya dilakukan pada tersangka pelaku perbuatan pidana yang memiliki status sosial tinggi. Kekhususan istilah yang dimiliki dalam ilmu kedokteran juga menyulitkan pembuktian kasus malpractice, satu-satunya cara adalah harus mendatangkan saksi ahli yang juga seorang yang berprofesi dokter. Karena hanya orang yang menekuni bidang tersebutlah yang mengetahui proses dan cara kerjanya.
Akan tetapi dampak yang patut diperkirakan disini kemudian muncul sentimen-sentimen primordialisme jabatan, yang mengakibatkan adanya usaha saling melindungi diantara para dokter tersebut. Hal ini dapat terjadi mengingat dalam kode etik baik kedokteran (umum) maupun kedokteran gigi terdapat kewajiban dokter kepada teman sejawatnya yang harus memperlakukan teman sejawatnya tersebut dengan perlakuan yang ingin dia terima dari temannya tersebut10. Jika kode etik ini disalah tafsirkan maka tidak mungkin usaha-usaha melindungi dokter lain yang terkena perkara tersebut dalam upaya menghindari pencemaran nama baik jabatan.
Pidana yang paling sesuai untuk para tersangka
Menentukan hukuman yang tepat dalam setiap kasus kejahatan memang sangat sulit. Pemberian hukuman biasanya tergantung dari pandangan/paradigma yang umumnya berkembang dalam institusi peradilan pidana. Hukuman yang paling sesuai bagi tersangka pelaku kejahatan dalam kasus malpractice yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya juga sulit unutk ditentukan. Ada pembelaan sebagian dokter yang menyatakan bahwa belum tentu setiap kasus malpractice ini karena kesalahan dokter, bisa juga dari pasien karena ketidak memberikan keterangan yang benar tentang keadaan dirinya ketika akan didiagnosa (anamnesa), sehingga dokter tidak mengetahui secara tepat kondisi pasien. Selain itu ada pandangan miring sebagian dokter terhadap SOP yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang, telah menghambat kemajuan ilmu kedokteran sendiri. Dengan membatasi prosedur penanganan suatu penyakit dengan serangkaian aturan yang sudah baku, apalagi jika SOP tersebut sudah ketinggalan jaman.
Terlepas dari itu semua setiap perbuatan pidana harus diberikan hukuman. Hukuman yang diberikan juga harus mempunyai tujuan tertentu yang harus dapat dicapai melalui penghukuman tersebut. Untuk kasus malpractice teori penghukuman yang paling tepat mungkin utilitarian prevention. Karena dokter dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan manusia, dalam hal ini bahkan nyawa manusia. maka dengan adanya efek deterrence diharapkan dokter akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Bentuk hukuman ini lebih ditekankan pada hukuman yang berat, dengan asumsi akan memberikan efek deterrence yang lebih kuat. Berhubungan dengan hambatan di tersebut, hukuman ini akan memberikan efek bagi dokter lain untuk lebih menggali keterangan dari pasien dengan lebih mendetail dan memperhatikan apabila ada keterangan-keterangan yang ganjil dan menelusurinya agar lebih jelas. Pandangan yang memandang miring SOP juga harus dirubah, karena dalam menangani nyawa manusia tidak bisa dilakukan dengan sembarangan dan harus hati-hati.
Kasus malprctice yang dilakukan oleh Dokter semakin marak diketahui oleh masyarakat, mungkin hal ini dikarenakan semakin mengertinya masyarakat tentang hukum. Akan tetapi ternyata hal ini tidak diimbangi dengan regulasi yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Sehingga banyak kasus malpractice ini yang sampai menyebabkan kematian pasien hanya dituntut dengan pidana yang ringan (maksimal penjara lima tahun dan kurungan maksimal satu tahun-menurut pasal 359 KUHP) karena adanya unsur kelalaian dalam perbuatan tersebut.Dalam proses peradilan pidana yang berlangsung juga banyak dipengaruhi oleh sistem sosial masyarakat yang memandang status dokter sebagai status yang tinggi dan anggapan dokter tidak pernah salah. Selain itu juga adanya solidaritas diantara dokter yang biasanya mengganggu pula proses pembuktian kasus ini, karena banyak istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh sesama dokter.
No comments:
Post a Comment