Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.
Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional, dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia.
Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya.
Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial.
Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal.
Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam pengertian manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.
Munculnya aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan jawaban-jawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap apa yang disebut dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi. Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa yang disjikan oleh kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan ;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat.
Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.
Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
Namun apabila kita lihat pandangan-pandangan atau kritik yang dikemukakan oleh Paul Modikdo dan Soejono terhadap Kriminologi baru itu, nampaknya banyak yang tidak tepat, meski bisa dipertimbangkan (sebagai scientific device). Hanya saja kritik tersebut terkesan umum (tidak cermat) serta kurang memiliki landasan cukup tajam terhadap pandangan-pandangan kriminologi baru, apalagi kritik itu lebih bersifat kehati-hatian daripada melihat substansi teori yang dikembangkan, pemikiran kritis sering dicap sebagai bagian yang harus diwaspadai dalam pengertian negatif, apalagi pandangan yang dikemukakan aliran kritis/radikal sering bersinggungan dengan konteks kekuasaan atau bentuk perlawanan, sehingga apabila dibaca dalam paradigma kekuasaan yang pada waktu itu sangat dominan (Rezim Orde Baru begitu alergi terhadap pandangan-pandangan kritis dan perlawanan, sehingga aliran-aliran kritis sering dicurigai). Saat ini penafsiran terhadap kejahatan mengalami suatu perubahan cukup mendasar, yang timbul akibat perubahan besar disegala bidang kehidupan, sehingga kalau boleh saya jelaskan bahwa kritik terhadap kriminologi baru yang dikemukakan kedua pakar krimonolog di atas adalah kritik yang kering interpretasi, tidak melihat konteks. Hanya perlu diperhatikan mengenai kritik dari Paul Meodikdo, tentang generalisasi yang terlau jauh dari jangkauannya, untuk kategori ini kita memang harus berhati-hati karena penyamarataan itu memang akan menyesatkan mengenai pandangan kita tentang kejahatan.
Bahwa aliran aliran baru terutama kritis dan radikal, dalam menguraikan teori mereka didasarkan kepada kemampuan apa yang disebut dengan motif-motif berfikir kritis dengan “melihat tembus “ “melihat dibalik” (adegan), dengan kata lain untuk tidak menerima apa adanya Take for Granted. Sebagai contoh, hal ini bisa dilihat dari uraian Steven Box , mengenai hubungan kejahatan dengan kekuasaan, dengan menguraikan suatu analisis bahwa “Undang-Undang Percobaan usaha kriminal (Criminal Attemps Act), 1981, dimaksudkan untuk mencabut hukum-hukum ‘sus’ yang banyak dikutuk orang. Akan tetapi penguatan hukum usaha percobaan bisa direntangkan sebagai akibat dari undang-undang ini, untuk mencakup usaha pencurian materi yang tidak di kenal oleh orang-orang tidak dikenal, serta usaha untuk mencuri mobil yang sedang diparkir. Sekedar keberadaan (kehadiran), terutama kalau wajah anda tidak sesuai, atau warna kulit anda kurang layak di sebuah jalan dengan sebuah mobil yang sedang diparkir, dimata polisi bisa di anggap sebagai suatu usaha percobaan pencurian mobil. Melalui undang-undang ini wewenang polisi telah ditambah dan bukannya dikurangi. Demikian pula dengan undang-undang polisi dan Bukti Kriminal, (police and Criminal Evidence Bill 1982 ) adalah contoh lain dari usaha negara untuk mendapatkan kekuasaanya. Ini hanya sekedar satu di dalam satu deretan manuver legal yang konsekuensi latennya, tidak peduli apapun maksud yang dinyatakan, adalah untuk meningkatkan kekuasan polisi untuk menyerang privasi individu dan menunda mereka sampai bukti ditemukan, bisa dibayangkan efek yang timbul. Tengok pula bagaimana di Indonesia kejahatan mengalir tanpa hambatan melalui legalisasi peraturan perundang-undangan.
Apabila kita melihat seadanya maka nampak, bahwa terbitnya undang-undang itu merupakan rasa peduli pemerintah dan kekhawatiran pemerintah, terhadap warganegaranya, namun pemerintah sendiri telah menciptakan opini publik yang berlebihan tentang kejahatan (warungan) melalui media-media, dan menciptakan setan rakyat, dari para pengemis, pencuri jaminan sosial. Pada gilirannya pemerintah kemudian tampak responsif terhadap keprihatinan publik, sementara pada kenyataanya tujuannya adalah untuk menanamkan kedisiplinan dan rasa takut akan penganggur yang menerima keuntungan negara, karena mereka bukan golongan menegah yang terhormat atau yang secara potensial rusak. Aliran-aliran kriminologi baru ( Taylor dll ) mengakui secara jujur bahwa gambaran yang diromantisasikan merupakan suatu formulasi yang kasar dan bahkan salah, serta lebih banyak merupakan pemujaan dari pada analisa perbuatan menyimpang yang dikagumi penyusun-penyusun teori seperti perilaku hippi, pemakaian narkotik, vandalisme dan sabotase industri. Namun harus diakui apa yang ditawarkan oleh aliran kriminologi baru, kritis dan radikal adalah alternatif pemikiran yang mencoba membuka pemahaman kita akan realitas kejahatan serta memberikan kegairahan perkembangan pemikiran kejahatan dalam konteks kriminolog.
No comments:
Post a Comment