Thursday, October 21, 2010

Sumpah Decisoir

Sumpah Decisoir
Sumpah decisior atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan ats permintaan salah satu pihak kepada l;awannya (ps. 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW). Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang yang harus bersumpah disebut delaat.
Berlainan dengan pada sumpah suppletoir maka sumpah decisior dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan sumpah decisior ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan persidangan (ps. 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW).
Inisiatif untuk membebani sumpah decisoir ini dating dari salah satu pihak (deferent) dan ia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya. Dan sumpah decisoir itu dapat dibebankan kepada syapa saja, yang dapat menjadi pihak dalam perkara, secara pribadi atau oleh orang yang diberi kuasa khusus dengan akta otentik (ps. 157 HIR, 184 Rbg, 1945 BW).
Sumpah decisoir ini dapat dibebankan mengenbai segala peristiwa yang menjadi sengketa dan bukan mengenai berbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum (ps. 1930 BW). Seklaipun demikian tetapi peristiwa itu harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang disuruh bersumpah (fait personnel): ps 156 HIR, 183 Rbg, 1931 BW..
Kalau perbuatan itu dilakukan oleh kedua belah pihak dan pihak yang disuruh bersumpah (delaat) tidak bersedia mengucapkan sumpah, dapat mengembalikan sumpah itu kepada lawannya (relaat). Kalau perbuatan yang dimintakan buakan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, melainkan hanya dilakuakan oleh pihak yang dibebani sumpah saja, maka sumpah itu tidak boleh dikembalikan (ps. 1933 BW)
Akibat mengucapkan sumpah decisoir ialah bahwa kebenaran peristiwa yang disumpahkan peristiwa menjadi pasti dan pihak lawan tidak dapat membuktikann bahwa sumpah itu palsu, tanpa menguranggi wewenang jaksa untuk memnuntut berdasarkan sumpah palsu (ps. 242 KUHP), sehingga merupakan bukti yang bersifat menentukan, yang berarti bahwa deferent harus dikalahkan tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lainnya (ps. 177 HIR, 314 Rbg, 1936 BW).
Dikembalikannya sumpah pada lawannya berarti bahwa putusan hakim tergantung pada sifat relaat terhadap pengembaliaan sumpah itu oleh delaat. Tidak semua sumpah decisoir dapat dikembalikan. Sepeti yang telah diketengahkan di muka maka sum[pah decisoir baru dapat dikembalikan oleh delaat apabla sumpah itu bagi deferent berhubungan dengan perbuatan yang dilakukannya sendiri dan bukan dilakukan bersama-sama dengan pihak lawan (ps. 1933 BW).
Baik sumpah suppletoir maupun decisoir kedua-duanya bertujuan menyelesaikan perkara (ps. 155,156 HIR, 182,183 Rbg, 1929, 1940 BW). Dengan telah dilakukannya sumpah maka pemeriksaan perkara dianggap selesai dan hakim tinggal menjatuhkan putusannya.
Sumpah harus dilalkuan di persidangan, kecuali oleh karena alas an-alasan yang sah penyumpahan tidak dapat dilakukan di persidangan, dan hanya dapat dilakukan di hadapan lawannnya (ps. 1937 BW). Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah mimbar (sumpah di gereja) dan sumpah klenteng.
Pada hakekatnya sumpah decisoir maupun suppletoir bukanlah merupakan alat bukti karena merupakan keterangan sepihak, maka tidak mengherankan kalau ada sementara penulis menghendaki agar sumpah sebagai bukti deikeluarkan dari pasal 164 HIR (ps. 284 Rbg, 1866 BW). Apakah dalam suatu perkara kepada salah satu pihak akan diperintahkan atau diizinkan mengangkat sumpah atau tidak adalah sepenuhnya wewenang judex fact.

Sumpah Penaksiran

Sumpah Penaksiran (aestimotoir, schattingsed)
Pasal 155 HIR (ps. 182 Rbg, 1940 BW) mengatur tentang sumpah penaksiran, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi. Di dalam praktek sering terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersagkuta itu simpang siur, maka soal ganti rugi ini harus di pastiakn dengan pembuktian. Hakim tidaklah wajib membebani sumpah penaksiran ini kepada penggugat.
Kekuatan sumpah aestimatoir sama dengan sumpah suppletoir : bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan. Dapat di tambahkan juga disini bahwa sumpah suppletoir bias dilakukan di masjid.

Sumpah Suppletoir

Sumpah Suppletoir (ps. 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW)

Sumpah suppletoir atau pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatanya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
Karena sumpah suppletoir ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya bukti lawan. Pihak lawan boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang didasarkan atas sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka bagi pihak yang di kalahkan terbuka kesempatanya mengajukan request civil setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah itu palsu (ps. 385 Rv).
Dan untuk itu ia selalu harus mengingat syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang ps. 155 HIR, 182 Rbg, 1914 BW. Pihak yang diperintahkan hakim untuk bersumpah suppletoir tidak boleh mengembalikan sumpah suppletoir tersebut kepada lawannya (ps. 1943 BW) : ia hanya dapat menolak atau menjalankannya. Dalam hal ini hakim secara ex officio dapat memerintahkan sumpah suppletoir. Pasal 1932 sampai pasal 1939 BW tidak berlaku bagi sumpah suppletoir.

SUMPAH

SUMPAH

Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang di berikan atau di ucapkan pada member janji atau keterangan dengan mengingat Maha Kuasa dari pada Tuhan,dan percaya bahwa syapa yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNYa. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
Dari batasan tersebut diatas maka dapat di simpulkan adanya 2 macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang di sebut sumpah promissoir dan sumpah untuk member keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatory. Termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah saksi ahli, karena sebelum memberikan kesaksian atau pendapatnya harus di ucapkan pernyataan atau janji akan memberikan keterangan yang benar dan tidak lain dari pada sebenarnya, sedangkan sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah sebagai alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu peristiwa.
Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (ps. 155-158,177),Rbg (ps.. 182-185, 314), BW (ps. 1929-1945). HIR menyebutkan 3 maca sumpah sebagai alat bukti yaitu : sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisior) dan sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed).

Pengakuan dengan Klausula

Pengakuan dengan Klausula (geclausuleerde bekentenis)

Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dari tergugat tentang hal
pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini pun pada hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya adalah bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat keterangan tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat.
Sebagai contoh, pada awalnya tergugat mengakui gugatan penggugat, namun kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk tidak memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan oleh tergugat karena misalnya dia telah melakukan kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat) kini mempunyai tagihan dari penggugat. 

Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:
"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya,menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".

Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberipengakuan. Apabila ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya, konsekuensinya dia akan dikalahkan.

Akibatnya maka tuntutan penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan.Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW).
Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan,
kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat. Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya penggugat diwajibkan untuk membuktikan kebenaran gugatannya.
Pada umumnya penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu:
Pertama, dia menolak seluruh pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri;
Kedua, membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti, maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna serta mengikat.

Dari uraian diatas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
- Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
- Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya masing-masing.
- Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
- Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
- Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran material.
- Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana.

Pengakuan dengan Kualifikasi

Pengakuan dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis)

Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang dilakukan oleh
tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.30 Di dalam pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran menurut pandangannya sendiri.
Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan penggugat, sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari gugatan. Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu harus diterima secara bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.

PENGAKUAN MURNI

Pengakuan Murni (aveu pur et simple)

Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan posita pihak lawan Penggugat menyatakan sesuatu peristiwa pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan.
Pengakuan dapat berupa ucapan atau isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan tulisan. Oleh karena itu pengakuan secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus alat bukti surat. Hakikat dari pengakuan secara tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya atau materinya termasuk kategori fungsi sebagai pengakuan, sedangkan apabila dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila ternyata hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan itu harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang mengajukan pengakuan tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di muka sidang itu tidak
dibantah oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat
bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat jawaban tergugat, kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara lisan di depan sidang.
Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal menerangkan bahwa terdapat sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan tersebut. Dengan kata lain, surat itu berisikan keterangan dari orang yang menandatanganinya.
Sedangkan kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian tentang isi yang diterangkan di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya mengemukakan bahwa yang penting adalah kekuatan pembuktian materiil, karena kekuatan pembuktian materiil itu menilai "apakah memang benar sesuatu yang diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan tersebut sesuai dengan kebenaran". Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak menyangkal kebenaran gugatan penggugat atau bagian-bagian tertentu dari gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap diakui oleh tergugat secara diam-diam.
Pada dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan penggugat seluruhnya, maka hakim harus menganggap peristiwa yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja, dalam gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan tergugat masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk menghindari timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik.
Pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti peristiwa yang bersangkutan. Apabila suatu perkara tidak memiliki bukti-bukti lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka pengadilan menerima pengakuan itu antara lain dikatakan bahwa: “gugatan penggugat seluruhnya dianggap diakui secara diam-diam kebenarannya apabila hal-hal lain selebihnya dalam surat gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat.”

PENGAKUAN

PENGAKUAN

Pengakuan dapat diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Pengakuan dimuka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salahsatu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hokum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan pihak lawan. Dasar hukumnya adalah Pasal 174, 175 dan 176 HIR.

Faktor-faktor yang Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa danmengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ataukurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.17 Dalam menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya, hakim memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan para pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah). Kedua, alat-alat bukti yang berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim dan keterangan para saksi).Terdapat dalam 17 Pasal 14 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970.

Bentuk-bentuk Pengakuan
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa pada permulaan sidang, hakim harus senantiasa berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila perdamaian itu berhasil, maka hakim akan membuat akta perdamaian, sehingga sengketa itu berakhir dengan dibuatnya akta perdamaian tersebut. Akan tetapi apabila para pihak tidak berhasil didamaikan, maka hakim akan mempersilakan penggugat untuk membacakan gugatannya. Setelah itu giliran tergugat untuk mengajukan jawabannya. Jawaban tergugat dapat diajukan secara lisan atau tertulis. Jawaban juga dapata berupa referte, bantahan, dan pengakuan.

Dalam praktik banyak terjadi penggabungan antara pengakuan dan sangkalan. Akibatnya terjadi pengakuan yang tidak bulat. Akan tetapi pada dasarnya pengakuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal itu karena menyangkut pembuktian, sebab apabila sudah ada pengakuan tidak perlu lagi pembuktian. Hanya hal-hal yang disangkal yang memerlukan pembuktian lebih lanjut. Disebabkan karena adanya pengakuan yang tidak bulat, yurisprudensi dan

Ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi tiga jenis pengakuan.
Pertama Pengakuan murni;
Kedua, pengakuan dengan kualifikasi; Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan semata-mata sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi terhadap pengakuan. Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan yang bersifat membebaskan.
Ketiga, pengakuan dengan klausula

Persangkaan-persangkaan

PERSANGKAAN - PERSANGKAAN
Pada dasarnya persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya, pembuktian ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain.

Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan :
a. persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke, rechterlijke vermoedens, atau paesumptiones facti). Hakimlah yang menentukan apakah mungkin dan seberapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain.
b. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke atau rechts vermoedens, praesumptiones juris). Undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan.
Persangkaan berdasarkan hukum ini dibagi dua:
1. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
2. praesumptiones juris et de jure yaitu persangkaan yang berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.

Persangkaan diatur dalam HIR (ps.173), Rbg (ps. 310) dan BW (ps. 1915-1922). Menurut pasal 1915 BW maka persangkaan adalah kesimpulan –kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kea rah peristiwa lain yang terang kenyataannya.

Persangkaan berdasarkan undang-undang, menurut pasal 1916 BW ialah persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain :
1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaanya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang yang dapat di jadikan kesimpulan guna mendapatkan hak kepemilikan atau bebas dari hutang.
3. Kekuatan yang di berikan oleh undang-undang kepada keputusan hakim.
4. Kekuatan yang di berikan undang-undang oleh pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.

Tentang persangkaan menurut undang-undang yang tidak menguntungkan pembuktian lawan diatur dalam pasal 1921 ayat 2 BW, yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu (ps. 184, 911, 1618 BW). Persangkaan yang tidak memungkinkan bukti lawan pada hakekatnya bukanlah persangkaan.Contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan pembuktian lawan misalnya : pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439 BW, 42, 44 Peraturan kepailitan.

Wednesday, October 20, 2010

ALAT BUKTI SAKSI

ALAT BUKTI SAKSI

Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR. Adapun syarat-syarat saksi, yakni terdiri dari syarat formil dan syarat materiil.
a. Syarat formil saksi ialah:
1) Berumur 15 tahun ke atas
2) Sehat akalnya
3) Tidak ada hubungan keluarga seadarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang menentukan lain
4) Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak dengan meskipun sudah bercerai
5) Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah, kecuali Undang-undang menentukan lain
6) Menghadap di persidangan
7) Mengangkat sumpah menurut agamanya
8) Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuattkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali mengenai perzinaan.
9) Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1) HIR).
10) Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).

b. Syarat materiil saksi ialah:
1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (pasal 171 HIR / 308 R.Bg)
2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya.
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri
4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR)
5. Tidak bertentangan akal sehat.
Kewajiban saksi ada tiga, yaitu:
1. Menghadiri sidang sesuai panggilan
2. mengangkat sumpah sesuai agamanya
3. Memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan alami.
Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.
Dalam hal menimbang harga kesaksian Hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, cocoknya kesaksian-kesaksian dari yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab – sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perikelakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus testis nulus testis (pasal 169 HIR/306
R.Bg) artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti lain seperti sumpah atau lainnya.
Testimonium de auditu (pasal 171 HIR) ialah kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar, dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain. Dalam bahasa fiqih disebut istifadhoh, pada dasarnya tidak dilarang mendengarkan kesaksian mereka.

Tuesday, October 12, 2010

Surat Perintah Penahanan

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”




SURAT PERINTAH PENAHANAN
No. Pol. Sp. Han/1/517/VI/ 2008/RESKRIM
PERTIMBANGAN : 1. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyelidikan sementara diperoleh bukti
yang cukup, tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat
dikenakan penahanan.
2. Bahwa tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri atau merusak/menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
3. Maka perlu dikeluarkan Surat Perintah ini.
DASAR : 1. Pasal 7 ayat (1) huruf (d), Pasal 11, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 24 ayat (1) KUHAP.
2. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
3. Laporan Polisi No.Pol. : LP / 778 / VI / 2008 / SPK, tanggal 5 Juni 2008

D I P E R I N T A H K A N

Nama : RAMDHANI TRI
Pangkat/ Nrp :BRIPTU/ 65090137
JABATAN : Penyidik Pembantu
1. Melakukan penahanan terhadap:
Nama : POLTAK SINAGA
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 1 April 1980
Agama : Katholik
Pekerjaan : Wiraswasta
Bangsa/Suku : Indonesia/Batak
Alamat : Jln. Antapani No. 10 Bandung
Karena diduga telah melakukan Tindak Pidana Pembunuhan atau penganiyaan berencana yang menyebabkan kematian yang keduanya dikaitkan dengan turut serta melakukan yang dapat dihukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 Jo. 55 ayat (1) ke-1 atau 353 ayat (3) Jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
2.Menempatkan tersangka di Rumah Tahanan Negara di Polwiltabes Bandung selama 20 hari terhitung sejak tanggal 12 Juni 2008 s/d 2 Juli 2008.
DIKELUARKAN DI : BANDUNG
PADA TANGGAL : 12 Juni 2008
KEPALA KEPOLISIAN WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG


Drs. EDISON SITORUS, SH, MH
KOMBES NRP.86120397
Kelihatan :
Pelanggaran No :
Slinan :
Hari Kamis tanggal 12 Juni 2008. Satu (1) lembar surat perintah penahanan diserahkan kepada tersangka/keluarga tersangka.


Yang menerima
Yang Menyerahkan


POLTAK SINAGA       
        RAMDHANI TRI
BRIP T U NRP. 65090137

Surat Perintah Penangkapan

Seringkali pelanggaran hak tersangka terjadi dalam proses penyelidikan dan penyidikan, salah satu penyebab utamanya adalah tersangka yang tidak mengerti prosedur penangkapan bagaimana. Bila terjadi penangkapan, tersangka harus menanyakan apakah penangkapan atas dirinya disertai Surat Perintah Penangkapan, bila tidak disertai, tersangka tidak wajib mematuhi perintah penangkapan oleh aparat.
Namun, bila penangkapan telah terjadi dan tersangka baru menyadari dirinya ditangkap tanpa prosedur yang benar, tersangka dapat mengajukan Praperadilan.
cermati tanggal pada Surat Perintah Penangkapan!


contoh Surat Perintah Penangkapan:

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
SURAT PERINTAH PENANGKAPAN
Sp. Kap / 224 / VI / 2008 / Reskrim

PERTIMBANGAN : Bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyelidikan tindak pidana dan atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil 2 ( dua kali berturut-turut tidak datang tanpa alasan yang sah ), maka perlu mengeluarkan surat perintah ini.
DASAR : 1. Pasal 30 ayat 4 UUd 1945
2. Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka 1, pasal 7 ayat (1) huruf
(d).Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 37 KUHP.
3. UU No. 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI.
4. Laporan Polisi No. Pol : LP / 778 / IX / Spk, tanggal
10 Juni 2008
DIPERINTAHKAN

Kepada : 1. Nama : ANGGA PERKASA
Pangkat/ Nrp : AKP/ 60060873
Jabatan : PENYIDIK
2. Nama : RAMDHANI TRI
Pangkat/ Nrp :BRIPTU/ 65090137
Jabatan : PENYIDIK PEMBANTU
3. Nama : ASRAH
Pangkat/ Nrp : BRIPDA/ 73110098
Jabatan : PENYIDIK PEMBANTU

UNTUK : 1. Melakukan penangkapan terhadap :
Nama : Poltak Sinaga
T.T.L : Medan, 1 April 1980
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Katholik
Alamat : Jln. Antapani No. 10 Bandung

Dan membawa ke kantor intansi untuk Negara dilakukan pemeriksaan Karena diduga telah melakukan Tindak Pidana Pembunuhan atau penganiyaan berencana yang menyebabkan kematian yang keduanya dikaitkan dengan turut serta melakukan yang dapat dihukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 Jo. 55 ayat (1) ke-1 atau 353 ayat (3) Jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
2. Surat perintah ini berlaku dari tanggal 10 Juni 2008 s/d 11 Juni 2008.
3. setelah melaksanakan surat perintah ini agar membuat BAP Penangkapannya.

DIKELUARKAN DI : BANDUNG
PADA TANGGAL : 10 Juni 2008
An. KEPALA KEPOLISIAN WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL
Selaku Penyidik


Yudhitia Aldiansyah, S. IK
A K B NRP 73090437




Dan hari ini Selasa 10 Juni 2008, 1 (satu) lembar surat Perintah ini diserahkan pada tersangka.

Tersangka                                                                                                                      Yang menyerahkan,                                                                                         Penyidik Pembantu


Poltak Sinaga                                                                                                                             Ramdani Tri
BRIPTU NRP 65090137

Contoh Surat Dakwaan

Contoh surat dakwaan :


KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG
“PRO JUSTITIA”


SURAT DAKWAAN
Nomor :178/SD /VII/2008


I. IDENTITAS TERDAKWA

Nama Lengkap : Poltak Sinaga
Tempat lahir : Medan
Umur/Tanggal lahir : 28 Tahun/ 1 April 1980
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Katolik
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. Antapani No.10 Bandung

II. PENAHANAN
• Poltak Sinaga:
-Ditahan Penyidik:
11 Juni 2008 sampai 30 Juni 2008.
- Diperpanjang oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bandung:
1juli 2008 sampai dengan 9 Agustus 2008.


III. DAKWAAN

PRIMAIR

---------- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO (dalam sidang yang berbeda), pada hari Rabu, 4 Juni 2008, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Juni 2008 atau setidak-tidaknya pada tahun 2008, sekitar pukul 13.20 WIB bertempat di PT. Abadi Mekar, Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung, dimana TERDAKWA AHMAD HAMBALI (dalam sidang yang berbeda) merupakan aktor intelektual dari perencanaan tindakan yang dilakukan, bersama-sama atau secara sendiri-sendiri dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu melakukan perbuatan merampas nyawa orang lain, yaitu korban yang bernama ABDUL MANAN yang rangkaian perbuatannya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:------------------------

- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI, adalah rekan kerja korban Abdul manan di PT. Abadi Mekar yang menjabat sebagai Komisaris Utama.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI, menganggap korban telah menjual aset-aset perusahaan tanpa persetujuannya atau RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham)
- Bahwa pada tanggal 15 Mei 2008 pukul 15.00 WIB terjadi perselisihan antara TERDAKWA AHMAD HAMBALI dengan korban dalam forum RUPS yang disaksikan oleh DRS. SULAEMAN selaku Direktur PT. Abadi Mekar, HARYONO selaku Komisaris PT. Abadi Mekar. Bahwa atas terjadinya perselisihan yang terjadi selama ini membuat TERDAKWA AHMAD HAMBALI sangat kesal.
- Bahwa perasaan kesal dari TERDAKWA AHMAD HAMBALI menimbulkan suatu motif, untuk melaksanakan tindakan pidana tersebut di atas.
- Bahwa untuk merealisasikan kekesalannya tersebut pada hari Minggu tanggal 1 Juni 2008 pukul 17.00 WIB TERDAKWA AHMAD HAMBALI bermaksud mengadakan pertemuan dengan mantan pengawal pribadinya yaitu TERDAKWA POLTAK SINAGA bersama teman dari TERDAKWA POLTAK SINAGA yaitu TERDAKWA ADI KALALO, di Kafe Kongo. Di Dago Pakar.
- Bahwa di Kafe Kongo tersebut, TERDAKWA AHMAD HAMBALI sebagai tokoh intelektual, berkehendak dengan memberikan hadiah Rp. 3.000.000,- menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menagih aset-aset perusahaan pada korban, yang dianggap telah dijual oleh korban.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk membunuh koban apabila korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan tersebut.
- Bahwa setelah pertemuan itu, Karena anjuran TERDAKWA AHMAD HAMBALI, maka timbul pula niat TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menekan korban.
- Bahwa pada hari Rabu, 4 Juni 2008 Pukul sekitar 13.20 WIB, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO melakukan persiapan pelaksanaan dengan mendatangi kantor korban PT.Abadi Mekar yang bertempat di Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, dengan menggunakan identitas palsu, sebagai rekan bisnis korban yaitu TERDAKWA POLTAK SIANAGA menjadi wisnutama, TERDAKWA ADI KALALO menjadi Setiawan Putra, dimana pada saat kedatangan mereka disaksikan langsung oleh sekretaris korban Sarah Ramdani.
- Bahwa terjadi percekcokan antara TERDAKWA POLTAK SINAGA, TERDAKWA ADI KALALO dan korban, karena korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan.
- TERDAKWA POLTAK SINAGA selanjutnya memegangi korban dari belakang, dan TERDAKWA ADI KALALO memukul ke bagian-bagian vital tubuh korban yaitu wajah, leher, dan dada korban dengan leluasa.
- Bahwa korban berhasil melepaskan diri dari pegangan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan sempat memukul TERDAKWA ADI KALALO hingga terpojok, kemudian TERDAKWA POLTAK SINAGA menghampiri korban dan memukul bagian vital tubuh korban yaitu bagian belakang kepala korban dengan vas bunga, dan bagian depan kepala korban terbentur ujung meja.
- Bahwa setelah melaksanakan tindakan tersebut, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO pergi meninggalkan kantor korban yang disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani pada pukul 14.30 WIB.
- Bahwa pada saat Sarah Ramdani masuk ke ruangan KORBAN, Sarah Ramdani menemukan KORBAN dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada pukul 16.20 WIB.

Bahwa akibat luka dibagian-bagian vital yang dilakukan TERDAKWA Poltak Sinaga dan Adi Kalalo menyebabkan KORBAN/ABDUL MANAN meninggal dunia, sesuai dengan visum et repertum NO. 101/Tahun 2008 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dokter Konsultan H. Noorman Heryadi, dr.Sp.F. (K) pada rumah sakit Dr. Hasan Sadikirn, Bandung, yang menerangkan adanya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan laboratorium dengan kesimpulan bahwa korban meninggal dunia akibat luka robek menganga di dahi sepanjang 5cm, dalam 1 cm, terdapat hematoma (memar). Pada bagian kepala, memar pada bagian permukaan tempurung kepala bagian belakang kiri dengan ukuran 4x2cm. Kelopak mata warna pucat agak kebiruan. Luka memar di bagian pipi. Ada memar di bagian dada, dengan bercak berwarna hijau di bawah bahu kiri ukuran 5x5cm, dada samping kiri ukuran 4x2cm, di dada kanan sampai perut kanan atas ukuran 9x3½ cm dan tidak hilang dengan penekanan.

-----Perbuatan Poltak Sinaga Memenuhi Rumusan dan diancam Pidana Pasal 340 jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHPidana-----------------


SUBSIDAIR

---------- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO, pada hari Rabu, 4 Juni 2008, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Juni 2008, sekitar pukul 13.20 WIB bertempat di PT. Abadi Mekar, Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung, dimana TERDAKWA AHMAD HAMBALI merupakan aktor intelektual dari perbuatan yang dilakukan, Bersama-sama atau secara sendiri-sendiri dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian orang lain, yaitu korban yang bernama Abdul Manan yang rangkaian perbuatannya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:------------------------

- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI , Adalah rekan Kerja Korban/Abdul Manan di PT. Abadi Mekar yang menjabat sebagai Komisaris Utama.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI , menganggap korban telah menjual aset-aset perusahaan tanpa persetujuannya atau RUPS ( Rapat Umum Pemegang Saham ).
- Bahwa pada tanggal 15 Mei 2008 pukul 15.00 WIB terjadi perselisihan antara TERDAKWA AHMAD HAMBALI dan korban dalam forum RUPS yang disaksikan oleh DRS. SULAEMAN selaku Direktur PT. Abadi Mekar, HARYONO selaku Komisaris PT. Abadi Mekar dan CECEP SUPRIYATNA selaku Office Boy, yang pada intinya meminta agar korban segera mengembalikan aset perusahaan dan apabila korban menolak, maka korban akan diberi pelajaran.
- Bahwa atas terjadinya perselisihan yang terjadi selama ini membuat TERDAKWA AHMAD HAMBALI sangat kesal.
- Bahwa untuk merealisasikan kekesalannya tersebut, pada hari Jumat tanggal 16 Mei 2008 pukul 17.00 WIB TERDAKWA AHMAD HAMBALI mengadakan pertemuan dengan mantan pengawal pribadinya yaitu TERDAKWA POLTAK SINAGA bersama teman dari TERDAKWA POLTAK SINAGA yaitu TERDAKWA ADI KALALO, di Kafe Kongo di Dago Pakar.
- Bahwa di Kafe Kongo tersebut, TERDAKWA AHMAD HAMBALI , sebagai tokoh intelektual, berkehendak memberikan hadiah Rp. 3.000.000, menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA , dan TERDAKWA ADI KALALO , untuk menagih aset-aset perusahaan, yang dianggap telah dijual oleh korban
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menganiaya korban, apabila korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan tersebut.
- Bahwa setelah pertemuan itu, karena anjuran TERDAKWA AHMAD HAMBALI, maka timbul pula niat TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menganiaya korban
- Bahwa pada hari Rabu, 4 Juni 2008 Pukul 13.20 WIB, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO mendatangi kantor korban PT.Abadi Mekar yang bertempat di Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, dengan menyamar sebagai rekan bisnis korban dimana TERDAKWA POLTAK SINAGA menjadi Wisnutama, TERDAKWA ADI KALALO menjadi Setiawan Putra, yang diketahui atau disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani.
- Bahwa terjadi percekcokan antara TERDAKWA POLTAK SINAGA , TERDAKWA ADI KALALO dan korban karena korban dianggap menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan.
- Bahwa untuk merealisasikan niat dan rencananya untuk menganiaya korban, TERDAKWA POLTAK SINAGA memegang korban dari belakang, dan TERDAKWA ADI KALALO dengan sadar memukul korban di bagian wajah, leher, dan dada korban dengan leluasa.
- Bahwa korban berhasil melepaskan diri dari pegangan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan sempat memukul TERDAKWA ADI KALALO hingga terpojok.
- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA menghampiri korban dan memukul korban dibagian belakang kepala korban dengan vas bunga, dan bagian depan kepala korban terbentur ujung meja.
- Bahwa setelah melaksanakan niatnya dan rencana tersebut, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO pergi meninggalkan kantor korban yang disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani pada pukul 14.30.
- Bahwa pada saat Sarah Ramdani masuk ke ruangan KORBAN, Sarah Ramdani menemukan KORBAN dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada pukul 16.20 WIB.

Bahwa akibat pukulan dan luka yang diilakukan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO menyebabkan KORBAN/ABDUL MANAN meninggal dunia, sesuai dengan visum et repertum NO. 101/Tahun 2008 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dokter Konsultan H. Noorman Heryadi, dr,Sp.F. (K)Pada rumah sakit Dr. Hasan Sadikirn, Bandung, yang menerangkan adanya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan laboratorium dengan kesimpulan bahwa KORBAN/Abdul Manan meninggal dunia akibat luka robek menganga di dahi sepanjang 5cm, dalam 1 cm, terdapat hematoma (memar). Pada bagian kepala terdapat memar pada bagian permukaan tempurung kepala bagian belakang kiri dengan ukuran 4x2cm. Kelopak mata warna pucat agak kebiruan, luka memar di bagian pipi. Ada memar di bagian dada, dengan bercak berwarna hijau di bawah bahu kiri ukuran 5x5cm, dada samping kiri ukuran 4x2cm, di dada kanan sampai perut kanan atas ukuran 9x3½ cm dan tidak hilang dengan penekanan.

----- Perbuatan Poltak Sinaga Memenuhi Rumusan dan diancam Pidana Pasal 353 jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

BANDUNG, 16 JULI 2008
Jaksa Penuntut Umum


Rudi H., SH.,MH
JAKSA UTAMA MADYA NIP. 230014140

Contoh BAP (Berita Acara Pemeriksaan)

Sebagian besar orang, mungkin belum pernah melihat BERITA Acara Pemeriksaan, atau yang lazim disebut BAP. Ini adalah salah satu contoh BAP.



KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”



(lambang POLRI)
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
SAKSI PELAPOR


Pada hari ini Kamis tanggal 5 Juni Tahun 2008 waktu jam 09.00 WIB, saya----------
-------------------------------------- RAMDHANI TRI ----------------------------------------------
Pangkat BRIPTU/ NRP 65090137selaku penyidik pada kantor kepolisian tersebut diatas berdasarkan surat tugas No. pol. : SP. Gas/ 517/ VI/ 2008/ Reskrim tanggal 5 Juni 2008 telah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan yang belum saya kenal mengaku bernama :-----------------------------------------------------------------------------
-------------------------- SARAH RAMADHANI binti BAROKAH -----------------------------
Umur 24 Tahun, dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1984, Agama Islam, Pekerjaan Sekertaris di PT. Abadi Mekar, Suku Sunda, Bangsa Indonesia. Pendidikan terakhir S1 Sarjana Ekonomi jurusan Management, Alamat sekarang Jln. Aceh No. 2 Bandung --------------------------------------------------------

Ia diperiksa untuk dimintai keterangan selaku saksi pelapor dalam perkara Tindak Pidana Pembunuhan berencana atau Pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 ayat atau 338 KUHPidana, sehubungan dengan adanya laporan polisi No. Pol LP/778/VI/2008/SPK tanggal 5 Juni 2008 ------------------------------------------------------------------------------------------

Atas pertanyaan pemeriksa yang diperksa menerangkan secara Tanya jawab sebagai berikut dibawah ini : ----------------------------------------------------------------------------------

PERTANYAAN JAWABAN

1. Apakah saksi sekarang dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersediakah anda sekarang untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan pernyataan dengan sebenar-benarnya.?
--------- 01. Ya, sekarang saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta saya bersedia untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan sebenar-benarnya.


2. Mengertikah saudara sekarang mengapa saudara sekarang dimintai keterangan oleh polisi. Kalau mengerti dalam perkara apa? Coba Jelaskan ?
--------- 02. Ya, Saya mengerti sehingga diperiksa sekarang ini sehubungan sebagai saksi pelapor terkait dengan kematian Abdul Manan di PT. Abadi Mekar tepatnya di ruang kerja korban.

3. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ?
--------- 03. Pada tanggal 4 Juni 2008 sekitar pukul 14.00 PT. Abadi Mekar Jl Merdeka No. 7 tepatnya di ruang kerja korban.


4. Apakah saudara mengetahui siapakah pelaku penganiayaan tersebut, coba saudara jelaskan?
--------- 04. Tidak tahu, tapi yang saya tahu pada hari itu ada dua orang tamu terakhir yang bertemu dengan korban yaitu 1. Pa wisnutama 2. Pa Setiawan Putra dari PT. Mekar Jaya , tamu itu datang sekitar pukul 13.20 dan seingat saya mereka keluar dari ruangan korban pada pukul 14.30 WIB, dan satu hal saya ingat bahwa sebelumnya ia telah membuat janji sekitar tanggal 27 Mei 2008 via telepon

5. Apakah saudara kenal dengan kedua tamu itu dan apakah saudara tahu maksud dari kedatangan mereka, jelaskan?
--------- 05. Tidak saya tidak kenal dengan mereka, dan seingat saya mereka datang untuk membicarakan suatu proyek dengan korban selaku rekanan bisnisnya, namun saya juga tridak mengetahui persis karena saya tidak berada didalam pada waktu mereka masuk ke ruang korban saya hanya mengantarkan mereka lalu kembali ke ruangan saya.

6. Bisa saudari jelaskan cirri-ciri dari kedua tamu itu?
--------- 06. ke dua orang yang datang pada waktu itu memiliki ciri-ciri fisik yang satu orangnya berkulit gelap, berbadan tinggi besar sekitar 180 cm dan wajah penuh dengan cambang dan janggut dan model rambut botak dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dan kemeja merah, yang satunya lagi tingginya sekitar 170 cm berkulit putih rambut model pendek dan lurus, dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dengan kemeja biru tua dan itu semua juga dapat terlihat di rekaman kamera cctv yang berada di lift dan yang berada di depan pintu masuk ruangan korban.

7. Adakah orang lain setelah mereka yang masuk ke ruangan korban?
--------- 07. Ada, yaitu Cecep Supriatna dia OB di kantor itu dan memang sudah kebiasaannya pada pukul 08.00 pagi ia mengantar kopi untuk korban dan pukul 15.00 ia mengantarkan teh hangat untuk korban.

8. Berapa lama saudara Cecep berada di ruangan itu?
--------- 08. Ya di bawah lima menit seingat saya

9. Apa reaksi saudara Cecep ketika keluar dari ruangan korban?
--------- 09. Biasa saja dan tidak ada yang aneh pada waktu itu

10. Lalu apakah betul saudari yang mengetahui pertama korban telah meninggal, coba jelaskan?
--------- 10. Ya, ketika itu pukul 16.20 ketika saya hendak pulang saya curiga kenapa korban tidak terlihat keluar dari ruangannya padahal kebiasaanya ia selalu pulang ketika telah pukul 04.00, sehingga saya memberanikan diri untuk masuk Lalu ketika saya masuk ke ruangan korban, terdengar lantunan melodi klasik kesukaan korban ketika sedang bersantai( suatu kebiasaannya) dan melihat posisi korban sedang terduduk membelakangi pintu masuk seolah seperti sedang tertidur, dengan terpaksa ia hendak membangunkan korban yang ia kira sedang tertidur, namun ketika didekati saya terperanjat kaget ketika melihat muka korban penuh dengan lebam dan kondisi baju yang tidak rapih seolah telah dipukuli dan ada luka di dahinya dan noda darah di bagian kerah baju bagian leher belakang. Lantas saya langsung menghubungi petugas keamanan.

11. Sepengetahuan saudara apakah korban mempunyai musuh atau sedang mempunyai masalah dengan pihak lain?
--------- 11. Setahu saya korban pernah terlihat berselisih dengan para pemegang saham lainnya ketika sedang diadakan RUPS pada tanggal 8 Mei 2008 hari Kamis di ruang rapat, yang dilatarbelakangi korban secara sepihak telah menjual asset-aset perusahaan PT. Abadi Mekar, kepada Rahardjo Slamet dan itu diketahui oleh Sulaeman dan ia memberitahukan hal itu pada pemegang saham lainnya yaitu pa haryono dan pa ahmad hambali.
12. Apakah ada saksi lain yang dapat dimintai keterangan terkait meninggalnya Abdul Manan?
--------- 12. Ada, yaitu: Asih Rahmayanti, Muhamad Alvian, Joko Pryanto, Dede Muharam, Cecep supriyatna.

13. Apakah masih ada keterangan lain yang akan saudara sampaikan selain keterangan diatas?
--------- 13. Semua keterangan yang saya sampaikan cukup

14. Apakah semua keterangan yang sudah saudara sampaikan benar, tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan?
--------- 14. Semua keterangan yang sudah saya sampaikan benar dan tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Setelah selesai Berita Acara Pemeriksaan dibuat, kemudian dibacakan kembali kepada yang diperiksa dalam bahasa yang mudah dimengerti olehnya selanjutnya yang diperiksa menyatakan setuju dan membenarkan semua keterangan yang diberikan, untuk menguatkannya membubuhkan tanda tangannya dibawah ini.

Tanda tangan yang diperiksa,




SARAH RAMADHANI

Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya mengingat atas kekuatan sumpah jabtan yang sekarang ini kemudian ditutup dan ditandatangani di Bandung, pada tanggal tersebut diatas.

Penyidik Pembantu Pemeriksa



RAMDHANI TRI

Anak Jalanan Memerlukan Perlindungan Negara

Penyebab anak jalanan memerlukan perlindungan oleh negara

Penyebab masalah anak jalanan yang memerlukan perlindungan dari perlakuan salah pada umumnya dapat dibagi ke dalam :

1. Penyebab makro

Penyebab yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan sosio-ekonomi yang kurang tepat menyebabkan adanya kesenjangan pembangunann antar wilayah, antar sektor, antar kelompok masyarakat dsb. dengan akibat terjadi kesenjangan kesejahteraan dan kekayaan antar wilayah dan kelompok masyarakat serta terjadi kemiskinan struktural, rendahnya kebijakan peduli anak dari sektor di tiap tingkatan, tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan-undangan tentang anak, penegakan hukum, pengawasan dan bimbingan yang berkaitan dengan pelaksanaan program, dan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak yang lemah.


2. Penyebab meso

Penyebab yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan sosio-budaya masyarakat seperti belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender pada masyarakat patrilineal dan feodal, nilai sosio-budaya perkawinan dini, anak dipandang sebagai aset orangtua untuk peningkatan ekonomi keluarga dsb.


3. Penyebab mikro

Penyebab yang berkaitan dengan diri anak dan keluarganya seperti anak lari dari keluarga, anak ingin berpetualang, gaya hidup konsumerisme, kesulitan berhubungan dengan keluarga dan tetangga, rendahnya pendidikan dan keterampilan, degradasi moral, buta huruf, disfungsi keluarga, penelantaran, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar anak, ditolak orang tua, salah pengasuhan, kekerasan di rumah, terpisah dari orang tua dan keterbatasan kemampuan orang tua merawat anak. Hal ini yang menyebabkan pemerintah harus turun tangan dalam menangani persoalan yang membelit seputar anak jalanan di Indonesia.


Faktor-faktor pengaruh merebaknya persoalan anak jalanan

a. Politik

Dari sudut pandang politis kadangkala persoalan anak masih dianggap ringan dan sering dibicarakan secara musiman. Di kalangan politisi persoalan anak tidak masuk agenda politik barangkali karena dianggap anak tidak dapat dijadikan pendukung politik dan bukan merupakan isu politik yang dapat dijual pada saat kampanye Pemilu.


b. Ekonomi

Krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Indonesia selain meningkatkan permasalahan anak juga telah menurunkan kemampuan pemerintah dalam penyediaan anggaran pembangunan untuk pengembangan sumberdaya manusia yang di dalamnya terkait permasalahan anak yaitu pendidikan dan kesehatan. Pemerintah selama periode 1992-2000 mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan rata-rata hanya 6 persen dan kesehatan 3,9 persen, berapa yang teralokasi untuk perlindungan anak belum diketahui secara pasti .


c. Hukum

Peraturan perundang-undangan tentang anak di Indonesia sebenarnya telah banyak yang di buat oleh pemerintah bersama legislatif. Melalui ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990, merupakan titik tolak pengakuan hak-hak anak mengingat implikasi dari ratifikasi tersebut, maka Indonesia berkewajiban memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak tersebut, melalui berbagai kebijakan nasional dan peraturan perundangan. Namun secara faktual berbagai peraturan perundangan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya karena banyak Undang-undang tersebut belum mempunyai Peraturan Pemerintah untuk menjalankannya. Di samping itu, masih ada Undang-undang yang perlu diharmonisasi dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hak-hak Anak dan instrumen hukum internasional lainnya.


d. Sosio-budaya

Faktor sosio-budaya seperti perkawinan dini usia (di bawah 16 tahun) masih cukup dominan baik di daerah rural maupun urban di Indonesia, meskipun usia perkawinan diantara anak perempuan telah meningkat pada periode terakhir ini. Hal ini, mencerminkan karena akses sekolah dan pelayanan kesehatan yang lebih baik di daerah urban, adanya kesempatan/peluang kerja dan kurangnya tekanan nilai sosio-budaya untuk segera kawin setelah haid pertama. Pekawinan dini usia, jelas mempengaruhi hak anak untuk memperoleh pendidikan, perkembangan kematangan kepribadian anak dan meningkatnya peceraian yang mendorong anak terjerumus kepada perdagangan anak dan eksploitasi seksual komersial anak/pelacuran yang beresiko tinggi tertular PMS/HIV/AIDS. Selai itu, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat yang masih patrineal dan feodal turut menentukan peranan dan kedudukan anak perempuan yang tidak setara dan adil dengan anak laki-laki terutama dalam keluarga miskin.


e. Sektor struktural

Kultur birokrasi di Indonesia masih belum berpihak kepada anak, bahkan permasalahan anak masih dilihat secara sektoral belum dilihat secara menyeluruh dan terpadu. Kebijakan peduli anak atau menjadikan kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai arus utama pembangunan sektor dan daerah masih belum seperti yang diharapkan. Masih ada persepsi yang salah dari sebagian sektor dan pemerintah daerah bahwa pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak masih dianggap konsumtif dan tanpa memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah.

Larangan Eksploitasi Anak

Anak-anak, yang dalam rumusan KHA adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, telah menjadi objek bagi “orang dewasa”. Di Indonesia, mereka telah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi, seksual dan “harga diri”. Kemiskinan, selama ini dijadikan alasan kuat mengapa anak-anak jalanan tersebut akhirnya secara sadar atau tidak dieksploitir oleh sekelompok orang atau lembaga. Selain itu, kehidupan rumah tangga orang tua yang tidak harmonis juga memicu anak-anak untuk mencari sesuatu sebagai tempat bergantung dalam proses pelarian mereka.
Banyak anak-anak jalanan dijadikan komoditas seks tanpa menghiraukan dampak luas yang akan ditimbulkannya. Inilah yang disebut sebagai eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Sebuah konsep yang digunakan untuk merujuk pada penggunaan seksualitas anak oleh orang dewasa dengan mempertukarkannya dengan imbalan, baik berupa uang tunai atau in natura. Imbalan dapat diterimakan langsung kepada anak ataupun kepada orang lain yang mendapatkan keuntungan komersial dari seksualitas anak.
Ada 3 bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak jalanan. Yakni:
(1) pelacuran anak,
(2) perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan
(3) pornografi anak.
Eksploitasi seksual komersial dibedakan dengan eksploitasi seksual nonkomersial, yang biasa disebut dengan berbagai istilah seperti pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual, dll. Dalam eksploitasi seksual komersial, eksploitasi seksualitas anak sekaligus dibarengi dengan eksploitasi ekonomi.
KHA dalam pasal 34 (a)-nya telah memberikan harapan baru bagi perlindungan anak-anak korban eksploiatsi seksual ini. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa, Negara peserta berupaya melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual. Untuk tujuan ini, negara peserta pada khususnya akan mengambil semua langkah di tingkat nasionalk, bilateral dan multilateral untuk mencegah:
a. Penjerumusan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang terlarang;
b. Penggunaan eksploitatif anak dalam melaksanakan pekerjaan di jalanan;
c. Penggunaan eksploitatif anak dalam penunjukan dan bahan-bahan pornografis.
Eksploitasi anak dengan sengaja membiarkan anak-anak untuk bekerja di jalanan untuk tujuan ekonomi adalah satu bentuk eksploitasi yang saat ini mewabah dalam lalu lintas hubungan manusia di Indonesia. Banyak kasus yang terjadi, selain kasus anak jermal yang disebutkan di atas, ditemukan juga berbagai aktifitas perdagangan atau proses memindahkan anak dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial yakni, menjadi buruh anak di perkebunan, pembantu rumah tangga dan menjadi peminta-minta di banyak persimpangan jalan (lampu merah). Kegiatan ini sangat berbahaya sekali bagi pertumbuhan dan keselamatan anak itu sendiri, tatkala sejak awal, diluar batas kesadarannya,anak-anak digiring dalam dunia kerja yang belum sanggup di pikul. Anak-anak, selanjutnya akan terbiasa dengan uang, mulai mengkonsumsi rokok (bagi anak laki-laki), terlibat dalam hubungan seksual yang menyimpang, dan pada satu titik tertencu cenderung untuk melakukan kejahatan.
Anak-anak yang bekerja di jalanan juga sangat rentan dengan kecelakaan dan kekerasan. Banyak sekali kasus sejumlah anak-anak yang harus mati dalam usia muda.
Anak-anak yang dieksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan ekonomis jelas akan kehilangan waktu belajar, bermain dan berfantasi, yang sebenarnya menjadi milik mereka. Waktu luang mereka telah dirampas pada usia yang sangat dini. Orientasi hidup mereka telah dibentuk sejak kecil untuk mengartikan hubungan kemanusian sebatas hubungan kontrak antara pihak yang membutuhkan dan diri mereka sendiri. Tangan-tangan kecil mereka telah dibiasakan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan yang selayaknya dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 32 KHA telah memberi beban kepada negara untuk melindungi anak-anak ini dengan menyebutkan: “ negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbhahaya atau mengganggu pendidikan, atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spritual , moral atau sosial anak.
Satu contoh eksploitasi yang selama ini juga tidak banyak diungkit ke permukaan adalah perlakuan kekerasan yang dialami oleh anak-anak yang diduga telah melakukan kejahatan (anak yang berkonflik dengan hukum). Para pelaku cilik kejahatan ini acap kali mengalami eksploitasi dalam bentuk penyiksaan, perlakuan ataupun hukuman yang tidak setimpal (perampasan kebebsan/kemerdekaan secara semena-mena) oleh para polisi, jaksa, hakim dan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam lembaga pemasyarakatan. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini, diperlakukan secara berbeda dengan pelaku kejahatan yang dewasa. Namun dalam prakteknya, anak-anak ini tidak mendapatkan hal tersebut. Di tingkat kepolisian mereka disatukan dengan tersangka tindak pidana dewasa lainnya. Di tingkat kejaksaaan, sering ditahan untuk waktu yang melebihi dari batas waktu. Dan di dalam proses peradilan selalu menerima vonis penjara dari hakim, seolah-olah hanya itulah ancaman hukuman yang tersedia bagi mereka. Padahal pilihan hukuman penjara dalam KHA dan aturan hukum internasional lainnya haruslah menjadi pilihan terakhir bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada mereka. Masih ada pilihan lain, seperti dikembalikan kepada orang tua, mendapatkan pengasuhan dari satu lembaga sosial yang ditunjuk negara atau menjadi anak negara.
Hambatan-hambatan yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak karena tidak ada kerjasama antara pihak-pihak dari instansi terkait, yaitu Pemerintah Daerah, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pembinaan, pemeliharaan dan perlindungan hak-hak anak, ditambah Iagi ketidakpedulian masyarakat sebagai orang tua asuh, dan kurangnya pengetahuan orang tua terhadap pendidikan dan kebutuhan hak-hak anak. Kemudian Pemerintah Daerah pun tidak melakukan sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat luas, dan kurangnya kesadaran pihak eksekutif dan legislatif tentang masalah anak terlantar dan anak jalanan. Sebab-sebab terjadinya hambatan karena tidak ada peraturan dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang khusus mengatur tentang perlindungan anak terlantar dan anak jalanan dalam peraturan daerah.
Peran Pemerintah dalam mewujudkan peraturan dan undang-undang perlindungan anak, baru pada tahap memberikan bantuan dana untuk anak-anak terlantar di panti asuhan, sedangkan untuk anak jalanan baru dibuat rumah singgah dan ditambah biaya-biaya buku bacaan sekolah bagi anak yang tidak mampu dengan cara mendatangi ke sekolah-sekolah. Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota supaya membuat secara khusus peraturan daerah mengenai anak terlantar dan anak jalanan. Pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat diharapkan dapat membangun panti asuhan dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga anak-anak yang dilatih ketrampilan di panti tersebut, kelak dapat merubah taraf hidupnya ke arah yang lebih baik. Kemudian &sarankan juga kepada orang tua atau wali supaya dapat melakukan hadhanah (mengasuh anak) dengan penuh tanggung jawab supaya perhatian, kasih sayang dapat terbentuk dalam jiwa anak, sehingga anak tidak terlantar dan tidak turun ke jalan, serta dapat terpenuhi hak-hak anak secara seimbang.

Pengaturan Konvensi Hak atas Anak

Pengaturan Konvensi Hak atas Anak tentang perlindungan hukum terhadap anak jalanan dari kekerasan dan diskriminasi.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji sejauh mana pengaturan konvensi hak atas anak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, hambatan-hambatan dan sebab-sebab yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, dan peran pemerintah dalam mewujudkan peraturan dan undang-undang perlindungan anak terhadap hak-hak anak.
Di Indonesia, misalnya, meski telah memiliki antara lain Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Kejadian busung lapar belum lama ini menyentak kita tentang buruknya kondisi anak. Belum lagi persoalan anak yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk yaitu di jalanan, anak di wilayah konflik, korban perdagangan manusia, dan banyak lagi.

1. Landasan Teori
Berbagai persoalan peraturan perundangan yang ada pun belum sempat diurus pemerintah hingga kini. Sebagai contoh, ratifikasi CRC(konvensi hak anak) berupa keputusan presiden dikritik karena menjadi kendala saat Indonesia hendak meratifikasi instrumen hak anak lainnya di bawah CRC. CRC semestinya diratifikasi menjadi UU.
UU RI No 7/1984 masih menghadapi berbagai kendala. Selain soal reservasi Pasal 29 CEDAW tentang penyelesaian perselisihan penerapan dan penafsiran konvensi, Indonesia juga belum meratifikasi optional protocol yang mengatur pelaporan individu/organisasi nonpemerintah tentang pelanggaran terhadap konvensi, prosedur komunikasi, dan penyelidikan.
Memang, peraturan perundangan tidak ada artinya tanpa keseriusan negara menegakkan hak asasi perempuan dan anak. Ratifikasi beribu konvensi sia-sia jika tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata..
Selain permasalahan di atas, situasi sosial menunjukkan belum terjaminnya hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut pada anak jalanan, konflik-konflik horisontal dan vertikal masih sering terjadi di Indonesia sampai saat ini melingkupi kehidupan anak-anakn jalanan . Penggusuran, perebutan sumber daya alam, dan kekerasan berbasis etnis, agama, keyakinan politik dan ideologi masih terus membayangi kehidupan anak-anak di masa depan apabila negara membiarkan akar konflik yakni perebutan sumber daya, menguatnya politik identitas, dan fundamentalisme agama tidak segera ditangani. Karena anak-anak yang tumbuh kembang pada iklim kekerasan dan konflik cenderung pada masa kedewasaannya kelak akan melanggengkan siklus konflik dan kekerasan pada generasi yang akan datang.
Seturut dengan masalah-masalah di atas, anak-anak sebagai pemegang kendali sejarah masa depan Indonesia akan terus digelayuti dan dibebani masalah impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh pemimpin masa kini. Kebenaran sejarah tidak akan pernah terungkap jika hak untuk mengetahui (right to know) yang dimiliki oleh anak-anak terus ditutup-tutupi. Rantai impunitas ini akan terus dilanggengkan oleh generasi mendatang jika tidak diputus dengan segera melalui pengungkapan fakta-fakta yang benar atas kejadian di masa lalu.
Situasi ekonomi, politik, dan sosial yang mengancam kehidupan anak-anak jalanan sebagai pemilik masa depan tersebut di atas bertambah suram karena lingkungan hidup yang akan menjadi ruang hidup dan kehidupan mereka di masa yang akan datang semakin tidak layak untuk dihuni. Kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang menyebabkan krisis ekologi akan berdampak pada terhambatnya penikmatan hak anak untuk mencapai derajat dan kualitas kesehatan tertinggi, hak atas lingkungan hidup .
Sudah seharusnya konsep HAM dalam bidang pendidikan tercermin dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menyebutkan bahwa pemerintah bertugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta adanya hak-hak kebebasan dasar manusia. Tekad pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa direalisasikan melalui pemberantasan buta huruf dan gerakan wajib belajar.

2. Hak Perlindungan anak dalam Konvensi Hak Anak 
 a. Larangan Diskriminasi Anak
Pasal 2 Konvensi Hak Anak secara tegas mengatur larangan diskriminasi pemberlakuan hak-hak anak yang ada dalam konvensi tersebut terhadap setiap anak dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum. Penempatan aturan tentang larangan diskriminasi ini dalam pasal 2 menunjukkan betapa hal ini sangat penting dan mendasar bagi perlindungan hak anak khususnya diskriminasi terhadap anak jalanan yang sering terjadi.
Pengertian Diskriminasi mengacu kepada setiap usaha yang dilakukan untuk membuat perbedaan diantara orang-orang. Perbedaan mana pada akhirnya bertujuan untuk memilah-milah apa yang boleh dan apa yang tidak bagi orang-orang tertentu. Dalam sejarah peradaban manusia, upaya untuk membeda-bedakan perlakuan terhadap manusia adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Fakta juga yang menunjukkan betapa perjuangan untuk menghilangkan perbedaan (utamanya yang didasarkan oleh ras,warna kulit dan keyakinan) menjadi sangat fenomenal karena begitu banyak menimbulkan korban jiwa, harta dan air mata. Jika merujuk kepada kenyataan sejarah penegakan hak-hak anak secara internasional maupun nasional, persoalan diseputar politik diskriminasi adalah bagian yang inheren dalam sejarah diskriminasi itu sendiri.

b. Perlindungan dari penyiksaan dan pengabaian
Menurut pasal 19 Konvensi Hak Anak ,Negara melindungi anak dari penganiayaan dalam bentuk apapun oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab untuk merawat anak dan membangun program sosial yang tepat untuk pencegahan penyiksaan dan untuk perawatan korban.

c. Perlindungan anak tanpa keluarga
Dalam pasal 20 Konvensi Hak Anak, Negara berkewajiban untuk menyediakan perlindungan khusus untuk anak yang kehilangan lingkungan keluarga dan untuk menjamin bahwa asuhan keluarga alternative yang tepat atau penempatan di institusi yang ada dalam kasus-kasus tersebut. Upaya-upaya untuk memenuhi kewajiban ini akanmemberikan hak-hak yang berhubungan dengan latar belakang kebudayaan anak.
Diharapkan pemerintah dapat terus berupaya memberikan pelayanan bagi para anak jalanan yang kehilanhgan lingkungan keluara dengan memperbanyak pendirian rumah singgah yang dapat menampung anak-anak yang tinggal di jalanan.

d. Standar hidup
Menurut pasal 27 KHA Setiap anak mempunyai hak atas standar hidup yang memadai untuk perkembangan sosial, moral, spiritual, mental dan fisiknya.Orang tua mempunyai tanggung jawab utama untuk menjamin bahwa anak mempunyai standar hidup yang memadai.Tugas Negara adalah untuk menjamin bahwa tanggung jawab ini dipenuhi dan tanggung jawab Negara dapat meliputi bantuan materi kepada orang tua dan anaknya.

e. Hak untuk mendapatkan Pendidikan
Anak mempunyai hak atas pendidikan dan tugas Negara adalah untuk menjamin bahwa pendidikan dasar adalah bebas biaya dan wajib, untuk mendorong bentuk-bentuk berbeda dari pendidikan menengah yang aksesibel bagi setiap anak dan untuk memberikan pendidikan tinggi untuk semua menurut dasar kapasitasnya. Mata pelajaran sekolah harus konsisten dengan hak-hak dan martabat anak. Negara mengikutsertakan kerja sama internasional untuk melaksanakan hak ini.
Dalam hal ini pemerintah berperan aktiv dalam usaha unutuk mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu dengan melaksanakan program pengajaran gratis khusus bagi orang yang tidak mampu. Diharapkan seluruh anak jalanan di Indonesia mendapat hak untuk belajar.

Konvensi Hak Anak

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), merupakan sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang prinsip-prinsip dasar perlindungan hak anak di muka bumi. Dalam hukum internasional Konvensi dikelompokkan sebagai salah satu sumber hukum internasional, selain kebiasaan internasional (International Custom), prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The General Principles of Law Recognized by Civilized Nations) dan keputusan atau resolusi organisasi internasional (vide pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Agung Internasional).
Merujuk kepada informasi UNICEF (United Nation children’s Fund), sebuah badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang khusus menangani persoalan anak di seluruh dunia, KHA merupakan sebuah konvensi PBB yang paling lengkap menguraikan dan mengakui instrumen-instrumen hak azasi manusia di dalam sejarah pertumbuhan organisasi bangsa-bangsa tersebut. Di dalamnya diatur secara detail hak azasi anak dan tolak ukur yang harus dipakai pemerintah secara utuh dalam implementasi hak azasi anak di negara masing-masing. Dilahirkan dari sistem hukum dan nilai-nilai tradisional yang pluralis, KHA menjadi sebuah instrumen yang tidak begitu banyak dipersoalkan dan diperdebatkan oleh negara-negara anggota PBB. Ia mencerminkan hak dasar anak dimanapun di dunia ini: hak untuk hidup, berkembang, terlindungi dari pengaruh buruk, penyiksaan dan eksploitasi serta hak untuk berpartisipasi secara utuh dalam lingkup keluarga, kehidupan budaya dan sosial.
Melirik sejarah perkembangannya, masyarakat dunia saat ini nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund ( sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional yang bekerja untuk perlindungan anak). Beliau, setelah menyaksikan, merawat para pengungsi anak di Balkan, akibat Perang Dunia I, membuat sebuah rancangan “Piagam Anak” pada tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan 7 (tujuh) gagasan mengenai hak-hak anak, yaitu:

1. Anak harus dilindungi dari segala pertimbangan mengenai ras, kebangsaan dan kepercayaan;

2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga;

3. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual.

4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus.diberi perumahan;

5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan/pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan;

6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari rpogram kesejahteraan dan jaminan sosial, nmendapatkan pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi;

7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian sesama umat.

Republik Indonesia termasuk negara yang melakukan penandatangan dan ratifikasi paling awal dibanding negara lainnya. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.36 tahun 1990, KHA diratifikasi. Secara normatif, penandatanganan konvensi berarti bahwa negara tersebut harus secara luas melakukan konsolidasi dalam negaranya sendiri terhadap standar yang ada dalam konvensi dan memulai melakukan identifikasi hukum nasional dan praktek-praktek yang dibutuhkan untuk menyesuaikannnya dengan standard yang ada dalam KHA. Ratifikasi adalah langkah selanjutnya, yang secara formal mengikat negara, atas nama rakyat , untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab yang digariskan dalam KHA.


Empat Hak Dasar Anak dalam Konvensi Hak Anak

Hak-hak anak yang terdapat dalam KHA bisa dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak , yaitu:

1. Hak untuk kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak untuk mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan dan perawatan sebaik-baiknya;

2. Hak untuk tumbuh kembang, yang meliputi segala hak untuk mendapatkam pendidikan, dn untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi perkembangan fiski, mental, spritual, moral dan sosial anak;

3. Hak untuk mendapatkan perlindungan, yang meliputi perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak-anak yang tidak mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi;

4. Hak untuk berpartisipasi, meliputi hak-hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.

Tinjauan teoritis perlindungan anak

Perlindungan terhadap anak bukan hanya untuk kepentingan anak semata. Dalam kesatuan sistem sosial, anak merupakan bagian dan menjadi generasi penerus dalam sebuah masyarakat. Perlindungan dan pengembangan hak-hak anak dengan sendiri menjadi bagian pembangunan masyarakat. Konsep demikian berlaku bagi masyarakata modern di manapun, baik dalam konteks lokal, regional, maupun internasional.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B (2) menyatakan bahwa :
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Undang-undang Hak Asasi Manusia pasal 33 (1) menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusian”, sedangkan pasal 29 (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”. Undang-undang Perlindungan Anak pasal 13 (1) menyatakan “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya”. Pasal 59 menyatakan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya , anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Namun kenyataannya, cita-cita ideal tersebut masih jauh dari harapan, berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi yang tercermin pada masih adanya anak-anak yang mengalami, kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi khususnya di jalanan.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1989, berdasarkan Keppres No 36/1990. Konvensi itu mulai berlaku di Indonesia sejak 05 Oktober 1990. Meski demikian kesungguhan Indonesia untuk memenuhi hak-hak anak sejak awal sudah diragukan. Keraguan itu muncul ketika meratifikasi konvensi ini, pemerintah mengeluarkan deklarasi bahwa pemerintah tidak akan menerima kewajiban apapun untuk memperkenalkan hak-hak yang tidak terdapat dalam UUD 1945. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan reservasi terhadap Pasal 17 (tentang hak memperoleh informasi), Pasal 21 (tentang adopsi) dan Pasal 22 (tentang pengungsi anak).
Reservasi merupakan kelemahan konvensi itu. Jadi, semua negara yang meratifikasi konvensi ini memang wajib melaksanakan semua ketentuan di dalamnya. Tujuan utama ratifikasi ini adalah untuk meningkatkan kondisi kehidupan anak-anak di negara tersebut. Namun demikian, setiap negara masih boleh melakukan reservasi terhadap salah satu atau beberapa pasal yang ada. Reservasi adalah pernyataan keberatan suatu negara untuk tidak terikat pada pasal-pasal.

Anak Jalanan

Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Anak jalanan merupakan potret dari kemiskinan yang dihadapi bangsa ini. Seperti ditengarai banyak kalangan, umumnya anak jalanan luput dari perlindungan hukum sehingga mereka rentan menjadi korban kejahatan dan kekerasan maupun diskriminasi.

Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan, keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan (sweeping) oleh pemerintah kota setempat.

Setelah 19 tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, melalui Keppres R.I. No. 36 tahun 1990, Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak Anak. Baru pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.

Berbagai konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia disertai instabilitas di bidang politik dan pemerintahan telah memperberat upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keadaan yang serba krisis dan kritis ini, telah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan banyak prioritas-prioritas lain seperti politik, pemulihan ekonomi dan keamanan, ketimbang upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Akibatnya, berbagai permasalahan anak muncul ke permukaan karena jaminan negara terhadap pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan perlindungan anak tidak optimal. Kondisi tersebut di atas, juga menyebabkan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak terdesak . Upaya–upaya kesejahteraan dan perlindungan anak menghendaki komitmen bangsa dan negara serta tindakan politik pada tingkat yang paling tinggi untuk memberikan prioritas dalam alokasi sumber daya pembangunan.

Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama pembangunan dan diarahkan pada investasi sumberdaya manusia (human investment). Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa, akan mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia.

Asas-asas Hukum Acara Perdata

Asas-asas Hukum Acara Perdata 

Asas-asas yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata, menunjukkan bahwa hakim bersifat menunggu, dimana hakim tidak akan mengadili bila perkara yang bersangkutan tidak diajukan ke pengadilan.  ruang lingkup dari perkara yang akan diadili pun yang menentukan bukanhakim, melainkan para pihak yang berperkara. Sehingga hakim terkesan dapat diperdaya, karena hakim hanya memutus berdasarkan apa saja yang dimohonkan untuk di putus. Terlepas dari masih ada hal-hall yang timpang namun tidak dimohonkan untuk diadili hakim, maka hakimtidak dapat mencampuri hal tersebut.

 Berikut ringkasannya :
- Hakim bersifat menunggu : inisiatif mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan=Pasal 118 HIR/142 RBg
- Hakim bersifat Pasif : ruang lingkup atau luas pokok perkara ditentukan para pihak berperkara tidak hakim. Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi dari yang dituntut
- Persidangan terbuka untuk umum : setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan perkara, walaupun ada beberapa perkara yang dilakukan pemeriksaannya secara tertutup. Contoh dalam perkara perceraian.
- Mendengarkan kedua belah pihak
- Putusan harus disertai dengan alasan-alasan
- Berperkara dikenai biaya.
- Beracara tidak harus diwakilkan : bisa langsung pihak yang berperkara beracara di pengadilan atau dapat diwakilkan.

Monday, October 11, 2010

Pengertian, Sifat, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Perdata

Pengertian, Sifat, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Perdata

Hukum Perdata Materil hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata. Hukum perdata formil sama dengan hukum acara perdata hukum yang mengatur cara mempertahankan atau melaksanakan hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan hukum perdata. Hubungan antara hukum perdata materil dengan hukum perdata formil adalah hukum perdata formil mempertahankan tegaknya hukum perdata materil sama dengan jika ada yang melanggar perdata materil maka diselesaikan dengan perdata formil.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil atau peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata kemuka pengadilanperdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan.menurut para ahli Wirjono Projodikoro adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Tujuan Haper memberikan perlindungan hukum oleh pengadilan untuk mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting ) , sehingga terjadi tertib hukumjadi tujuan dari Haper adalah untuk mencapai tertib hukum, dimana seseorang mempertahankan haknya melalui badan peradilan ,sehingga tidak akan terjadinya perbuatan sewenang-wenang
Sifatnya sebagaimana diketahui bahwa hukum yang tergoong private recht bersifat mengatur ,dan hukum yang tergolong publiek recht bersifat memaksa,Haper bersifat memaksa mengadug arti bahwa bila terjadi suatu proses acara perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar melainkan harus diataati oleh para pihak kalau tidak ditaati oleh para pihak (kalau tidak ditaati berakibat merugikan bagi para pihak yang berperkara)sifat Haper yang memaksa ini tiidak dalam konteks hukum public karena haper sendiri termasuk hukum privat,tetapi sifat memaksa ini dalam konteks memaksa kepada para pihak apabila telah masuk pada suatu proses acara perdatanya di pengadilannya
Fungsi kegunaan HAPER karena dalam Hukum Perdata materil (BW) tidak diatur bagaimana cara mempertahankan hak dan kepentingan seseorang,maka untuk merealisasikannya diperlukan Haper,dengan demikian maka kegunaan Haper adalah untuk mempertahankan Hukum Perdata Materil

Sejarah Hukum Acara Perdata
IR
- Wichers (1846)
- Staadblaad (1848)
- UUD 1945 Aturan Peralihan (Pasal 2 UUD 1945) Sesuai Asas Korkondasi
HIR
- UU Darurat No 1 tahun 1951

Sumber Hukum Acara Perdata
- Hukum positif
- Yurisprudensi
- Surat edaran MA
- Instruksi MA,dll

Relativitas Kejahatan

Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.

Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.

Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.

Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa penjahat adalah..., dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap sebagai penjahat dengan sebutan “barang siapa” (Yesmil Anwar. 2004:5), tentunya penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata aliran klasik atau aliran positif tidak dapat bertahan lama, aliran-aliaran ini kembali mendapat kritikan dari aliran atau mazhab sosiologis. Dalam lapangan kriminologi, aliran ini paling banyak melahirkan variasi-variasi dan perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari ajaran ini adalah kelakuan-kelakuan jahat yang dihasilkan dari proses-proses yang sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya.

Bukan suatu penjungkirbalikan terhadap paham klasik, positivistik, namun merupakan sebuah perkembangan yang begitu dasyat dalam lapangan kriminologi. Edwin Hardin Sutherland (1883-1950), boleh kita sebuat sebagai seorang berani tampil beda dalam menelaah kejahatan, ”the white collar crime” adalah suatu hal yang bagus, yang ia hasilkan, bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas bawah, namun kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. J.E Sahetapy menyebut hal ini sebagai ”kejahatan dalam kemasan baru”.

Kejahatan dalam tataran seperti yang Sutherland kemukakan adalah merupakan ”educated criminals”. Dalam pandangannya, Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang berasal dari kelas-kelas sosial dan ekonomi yang rendah, kejahatan tersebut itu berupa, perampokan, pencurian, dan kekerasan lainya hal ini menunjukan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelas-kelas masyarakat yang lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti kemiskinan, atau fakto-faktor patologik yang bersifat individual.

Malpraktik yang dilakukan dokter

Dalam pandangan hukum perilaku malpractice tidak dapat dituntut dengan Undang-undang (UU) Kesehatan No. 23 tahun 1992. Karena dalam UU tersebut tidak memberikan aturan tentang malpractice, ditambah lagi UU tersebut menuntut adanya pembuatan 29 Peraturan pemerintah (PP) yang mengatur lebih terinci hal-hal yang belum diatur dalam UU tersebut, sementara yang baru dibuat hanya 4 PP yang kesemuanya pun tidak secara tegas memberikan perlindungan terhadap konsumen. Diantaranya kelemahan peraturan yang ada adalah tidak adanya definisi yang jelas tentang malpractice, sehingga akan sulit ketika akan mengugat. Kelemahan yang lain Undang-undang No 23 tahun 1992 menjadi tidak efektif ketika pemberlakuan otonomi daerah, karena kantor-kantor wilayah kesehatan ditiadakan sebagai konsekuensi dari otonomi daerah.

Maka jika tuntutan terhadap perkara malpractice ini, biasanya hakim kembali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sifatnya lebih umum. Dalam KUHP untuk perkara ini biasanya dikenai pasal 359 mengenai kelalaian yang mengakibatkan kematian3.

Akan tetapi dari sudut pandang kriminologi perbuatan malpractice yang dilakukan dokter termasuk dalam kejahatan, karena kejahatan dipandang sebagai Tiap kelakuan yang merugikan (merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut . Selain itu Sellin mengatakan Kriminologi tidak hanya mempelajari perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga perbuatan yang melawan norma. Jadi walaupun perbuatan tersebut tidak termasuk sebagai perbuatan kejahatan menurut pandangan hukum, akan tetapi jika sudah menyinggung norma dan merugikan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang jahat. Dalam perbuatan malpractice yang dilakukan dokter walaupun tidak ada peraturan yang mengatur secara tegas, akan tetapi perbuatan tersebut sudah termasuk kejahatan, karena sudah merugikan pasien.

Model proses pidana yang berlaku
Dokter sebagai pelaku dalam perbuatan ini, menurut pandangan sistem sosial masyarakat Indonesia adalah golongan masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi. Hal ini dikarenakan kehadiran dokter bisa diibaratkan sebagai “dewa Penolong” yang sanggup menyembuhkan seseorang dari penyakit yang dideritannya. Kesempatan untuk menjadi dokter juga sangat sulit, karena harus ditempuh dengan pendidikan yang lama dan cukup sulit serta mahal. Status sosial yang tinggi ini menjadikan banyak anak-anak ketika ditanyakan kepadanya tentang cita-cita, mereka akan menjawab “ ingin jadi dokter”. Selain status sosial yang tinggi dokter juga dianggap “can’t do wrong”, karena kemampuan keilmuan dan keahlian yang mereka miliki, sehingga hampir semua yang disarankan oleh dokter akan dituruti oleh pasiennya. Bahkan ada anekdot5 yang menyatakan bahwa “ ada dua orang yang susah dinasehati yaitu kiai dan dokter” ( karena pekerjaannya menasehati orang lain).

Proses peradilan dalam kasus malpractice yang menjadikan dokter sebagai tersangka akan menemui banyak sekali kesulitan. Ketiadaan undang-undang/peraturan yang mengatur tentang malpractice sudah menjadi suatu persolan cukup rumit, sehingga kebanyakan kasus-kasus tersebut hanya dikenai pasal 359 KUHP, dan tidak menjurus pada pokok permasalahan tentang adanya malpractice. Padahal menurut Ketua YPPKI, dr. Marius Widjajarta, SE yang disebut malpractice adalah seorang profesional yang tidak melakukan pekerjaannya secara professional. Menurut pengertian lain Malpractice dikatakan sebagai :

Profesional misconduct or unreasonable lack of skill, failure of one rendering profesional service to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the comunity by the average prudent member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of these services or to those entitle to rely upon them” (Black,1968:111)6

Dapat diambil suatu pengertian bahwa pelaku malpractice ini adalah orang yang berkompeten dalam bidangnya tetapi tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Peristiwa malpactice yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya sebenarnya lebih tepat digolongkan kedalam White Collar Crime yang menurut Sutherland adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan status tinggi dan dilakukan denngan kaitannya dengan pekerjaannya.

Dalam proses peradilan kasus ini biasanya model peradilan pidana yang berlaku adalah Due Process Model, ini dikarena pelaku yang memiliki status sosial tinggi. Filosofi dasar dari model ini adalah menghargai sekali akan hak-hak tersangka sehingga, misalnya dalam melakukan pengkapan terhadap tersangka harus memperhatikan prosedur baku, serta lebih mementingkan efektifitas dari pada efisiensi8. Kenyataan ini dalam sistem peradilan pidana ternyata sangat nyata seperti pada kasus Tommy Soeharto yang ternyata memiliki hak-hak lebih di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Walaupun dalam konstitusi kita secara tegas dikatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahanan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27, tetapi pada kenyataannya pengecualian dalam praktek hukum masih saja terjadi.

Walaupun sebenarnya tidak berarti berlakunya Due Process Model dikarenakan adanya status sosial yang tinggi, akan tetapi karena watak dasarnya model ini yang lebih mementingkan proses formal sehingga terkesan hanya dilakukan pada tersangka pelaku perbuatan pidana yang memiliki status sosial tinggi. Kekhususan istilah yang dimiliki dalam ilmu kedokteran juga menyulitkan pembuktian kasus malpractice, satu-satunya cara adalah harus mendatangkan saksi ahli yang juga seorang yang berprofesi dokter. Karena hanya orang yang menekuni bidang tersebutlah yang mengetahui proses dan cara kerjanya.

Akan tetapi dampak yang patut diperkirakan disini kemudian muncul sentimen-sentimen primordialisme jabatan, yang mengakibatkan adanya usaha saling melindungi diantara para dokter tersebut. Hal ini dapat terjadi mengingat dalam kode etik baik kedokteran (umum) maupun kedokteran gigi terdapat kewajiban dokter kepada teman sejawatnya yang harus memperlakukan teman sejawatnya tersebut dengan perlakuan yang ingin dia terima dari temannya tersebut10. Jika kode etik ini disalah tafsirkan maka tidak mungkin usaha-usaha melindungi dokter lain yang terkena perkara tersebut dalam upaya menghindari pencemaran nama baik jabatan.

Pidana yang paling sesuai untuk para tersangka
Menentukan hukuman yang tepat dalam setiap kasus kejahatan memang sangat sulit. Pemberian hukuman biasanya tergantung dari pandangan/paradigma yang umumnya berkembang dalam institusi peradilan pidana. Hukuman yang paling sesuai bagi tersangka pelaku kejahatan dalam kasus malpractice yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya juga sulit unutk ditentukan. Ada pembelaan sebagian dokter yang menyatakan bahwa belum tentu setiap kasus malpractice ini karena kesalahan dokter, bisa juga dari pasien karena ketidak memberikan keterangan yang benar tentang keadaan dirinya ketika akan didiagnosa (anamnesa), sehingga dokter tidak mengetahui secara tepat kondisi pasien. Selain itu ada pandangan miring sebagian dokter terhadap SOP yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang, telah menghambat kemajuan ilmu kedokteran sendiri. Dengan membatasi prosedur penanganan suatu penyakit dengan serangkaian aturan yang sudah baku, apalagi jika SOP tersebut sudah ketinggalan jaman.

Terlepas dari itu semua setiap perbuatan pidana harus diberikan hukuman. Hukuman yang diberikan juga harus mempunyai tujuan tertentu yang harus dapat dicapai melalui penghukuman tersebut. Untuk kasus malpractice teori penghukuman yang paling tepat mungkin utilitarian prevention. Karena dokter dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan manusia, dalam hal ini bahkan nyawa manusia. maka dengan adanya efek deterrence diharapkan dokter akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Bentuk hukuman ini lebih ditekankan pada hukuman yang berat, dengan asumsi akan memberikan efek deterrence yang lebih kuat. Berhubungan dengan hambatan di tersebut, hukuman ini akan memberikan efek bagi dokter lain untuk lebih menggali keterangan dari pasien dengan lebih mendetail dan memperhatikan apabila ada keterangan-keterangan yang ganjil dan menelusurinya agar lebih jelas. Pandangan yang memandang miring SOP juga harus dirubah, karena dalam menangani nyawa manusia tidak bisa dilakukan dengan sembarangan dan harus hati-hati.
Kasus malprctice yang dilakukan oleh Dokter semakin marak diketahui oleh masyarakat, mungkin hal ini dikarenakan semakin mengertinya masyarakat tentang hukum. Akan tetapi ternyata hal ini tidak diimbangi dengan regulasi yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Sehingga banyak kasus malpractice ini yang sampai menyebabkan kematian pasien hanya dituntut dengan pidana yang ringan (maksimal penjara lima tahun dan kurungan maksimal satu tahun-menurut pasal 359 KUHP) karena adanya unsur kelalaian dalam perbuatan tersebut.Dalam proses peradilan pidana yang berlangsung juga banyak dipengaruhi oleh sistem sosial masyarakat yang memandang status dokter sebagai status yang tinggi dan anggapan dokter tidak pernah salah. Selain itu juga adanya solidaritas diantara dokter yang biasanya mengganggu pula proses pembuktian kasus ini, karena banyak istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh sesama dokter.