Pengertian terminologi hukum yang terdapat pada artikel “Peranan Dewan Keamanan Dalam Penyelesaian Sengketa”, di jelaskan berdasarkan BLACK’S Law Dictionary Seventh Edition :
1. Arbitration : A method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usu. Agreed to by the disputing parties and whose decision is binding.—also termed (redundantly) binding arbitration.
2. Conciliation : 1. A settlement of a dispute in an agreable manner. 2. A process in which a neutral person meets with the parties to a dispute (often labor) and explores how the disute might be resolvedp
3. Dispute : A conflict or controversy, esp.one that has given rise to particular lawsuit.
4. Good offices : the involvement of ones or more countries or an international organization in a dispute between other countries with the aim of contributing to its settlement or at least easing relations between the disputing countries.
5. Mediation : 1. A method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable soultion. 2. A neutral country’s interference in the controversies of other countries to maintain international stability.
ignorantia iuris neminem excusat. ignorance of the law does not excuse. ketidaktahuan hukum bukan alasan pemaaf.
Friday, November 19, 2010
JUDUL skripsi untuk HUKUM PIDANA
1. ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENYIMPANGAN KODE ETIK OLEH ADVOKAT DALAM MELAKUKAN PEMBELAAN TERHADAP KLIENNYA PADA SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA (UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT)
2. ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI MELALUI PENERAPAN ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN.
3. PENERAPAN PRINSIP ASSET RECOVERY PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA
2. ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI MELALUI PENERAPAN ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN.
3. PENERAPAN PRINSIP ASSET RECOVERY PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA
Perbedaan Undang – undang, Hukum dan Perundang-undangan
Perbedaan Undang – undang, Hukum dan Perundang-undangan
C.F. Strong mengatakan bahwa konstitusi memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hokum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara. KC Wheare, mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hokum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hokum (non legal). Berdasarkan pengertian ini, konstitusi merupakan bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kespakatan masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek social maupun aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu. James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hokum. Dengan kata lain, hokum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanent dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak pihak yang diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Konstitusi bisa berupa sebuah catatn tertulis; konstitusi dapat diketemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan hokum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hokum konstitusi.
Definisi hukum ialah seperangkat asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan meliputi juga lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam kenyataan (Prof, Muchtar Kusumaatmadja).
Komponen Hukum:
• Asas
• kaidah
• Lembaga (suprastruktur hukum dan infrastruktur hukum)
• Proses
Suprastruktur hukum: lembaga-lembaga yang dibentuk oleh instansi yang berwenang dengan dasar/sesuai hukum Kekuasan dan wewenang
Infrastruktur hukum: lembaga-lembaga yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat
Dialektika Hukum dan Kekuasaan :
Hukum mengatur dan membatasi kekuasaan “Kekuasaan cenderung korup, tanpa pembatasan/hukum kekuasaan pasti korup. Kekuasaan memungkinkan hukum berfungsi. Tanpa kekuasaan hukum akan ‘mandul’.
Sumber hukum :
1. Hukum tidak tertulis
2. Hukum kebiasaan
3. Hukum adat
4. Doktrin/pendapat ahli
5. Yurisprudensi
6. Hukum tertulis (UU No. 10/2004)
7. UUD
8. UU/Perpu
9. Peraturan Pemerintah
10. Keppres
11. Peraturan Daerah
12. Perjanjian/konvensi/traktat
13. Asas hukum yang berlaku dalam peraturan per-UU-an
14. Lex superior de rogat lex inferior
15. Lex posterior de ragat lex anterior
16. Lex specialis de rogat lex generalis
Istilah dan Pengertian Perundang-undangan
Secara etimologis Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.
Menurut Penulis istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang. Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:
1.bersifat tertulis
2.mengikat umum
3.dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.
Tempat (Lokus) Proses dan Teknik Penyusunan Perundang-undangan dalam Kerangka Keilmuan
Tempat (lokus) Proses dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam kerangka ilmu, dapat diketahui dari pandangan Krems yang memperkenalkan cabang ilmu baru yang disebut Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft) yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum Negara. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ini oleh Krems dibagi dua yaitu:
1.Ilmu Perundang-undangan dan
2.Teori Perundang-undangan
Ilmu Perundang-undangan dibaginya menjadi tiga bagian yaitu:
a.Proses perundang-undangan
b.Metode perundang-undangan dan
c.Teknik perundang-undangan.
Berdasarkan pandangan Krems inilah kita dapat menyimpulkan bahwa mata kuliah ini merupakan bagian dari Ilmu Perundang-undangan, sedangkan ilmu perundang-undangan, menurut Krems, Maihofer, dan van der Velden, termasuk dalam cabang Ilmu Hukum dalam arti luas. Mengenai hubungan antara mata kuliah ini dengan disiplin ilmu lain pertama penting dikemukakan pandangan F. Isjwara, bahwa ilmu tidak dapat dipisah-pisahkan dalam kotak-kotak yang terpaku mati (compartementization). Oleh karena itu tidak mungkin ilmu tersebut berdiri sendiri terpisah satu sama lainnya tanpa adanya pengaruh dan hubungan. Demikian halnya mata kuliah ini yang dipengaruhi dan mempunyai hubungan dengan disiplin ilmu lain, terutama dengan cabang ilmu-ilmu sosial yang mempunyai objek kehidupan ‘Negara’. Misalnya dengan Ilmu Politik, Ilmu Sosial, Ilmu Hukum, dan juga dengan Ilmu Pemerintahan. Hubungannya adalah bahwa ilmu perundang-undangan lebih sempit karena objeknya khusus tentang pembentukan peraturan hukum oleh Negara, sedangkan ilmu perundang-undangan dikatakan lebih luas karena menggunakan permasalahan, paradigma, dan metode dari disiplin ilmu-ilmu yang lain. Karena itu Krems menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan (Gesetzgebungswissenchaft) secara eksplisit merupakan ilmu interdisipliner yang berdiri sendiri.
Ilmu Perundang-undangan bersifat normatif dengan orientasi pada melakukan perbuatan menyusun peraturan perundang-undangan, karenanya bermanfaat memberikan bekal pengetahuan dan kemampuan membuat peraturan perundang-undangan.
Asas-asas Perundang-undangan
Beberapa asas dalam perundang-undangan adalah:
a.asas Undang-undang tidak berlaku surut
b.asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c.asas Lex Specialis derogat Lex Generalis.
d.asas Lex posteriore derogat lex priori (Udang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu/lama).
e.asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara 1950.
Kaidah Hukum Peraturan Perundang-undangan
Menurut teori perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok, yaitu:
1.Aspek materiil/Substansial, berkenaan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan.
2.Aspek Formal/Prosedural, berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu.
3.Struktur Kaidah Hukum
Aturan hukum sebagai pedoman perilaku yang dibuat oleh para pengemban kewenangan hukum memiliki struktur dasar yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:
a.subjek kaidah: menunjuk pada subjek hukum yang termasuk ke dalam sasaran penerapan sebuah pengaturan.
b.objek kaidah: menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa saja yang hendak diatur dalam aturan hukum tersebut.
c.operator kaidah: menunjuk pada cara bagaimana objek kaidah diatur, misalnya menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku tertentu, memberikan suatu hak atau membebankan kewajiban tertentu.
d.kondisi kaidah: menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Aturan hukum yang dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat digolongkan menjadi empat, yakni sifat umum abstrak, umum-konkret, individual-abstrak, dan individual-konkret. Keempat sifat kaidah hukum ini digunakan secara kombinatif dalam suatu peraturan perundang-undangan, bergantung pada isi/substansi dari wilayah penerapan/jangkauan berlakunya aturan hukum yang bersangkutan. Kombinasi sifat aturan hukum ini sebagian akan ditentukan pula oleh jenis peraturan yang terdapat dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Makin tinggi tingkatan peraturan perundang-undangan, makin abstrak dan umum sifatnya.
Berdasarkan pemahaman terhadap kaidah-kaidah hukum, dapat diidentifikasi beberapa jenis kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
1.Kaidah Perilaku, adalah jenis kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus atau boleh berperilaku. Fungsinya untuk mengatur perilaku orang-orang dalam kehidupan masyarakat.
2.Kaidah Kewenangan, adalah jenis kaidah hukum yang menetapkan siapa yang berhak atau berwenang untuk menciptakan dan memberlakukan kaidah perilaku tertentu. Fungsinya adalah untuk menetapkan siapa yang berwenang untuk mengatur perilaku orang, menentukan dengan prosedur bagaimana kaidah perilaku itu ditetapkan dan sekaligus menentukan bagaimana suatu kaidah harus ditetapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ditidakjelasan.
3.Kaidah Sanksi, adalah jenis kaidah yang memuat reaksi yuridis atau akibat-akibat hukum tertentu jika terjadi pelanggaran atau ketidakpuasan terhadap kaidah tertentu. Secara umum kaidah sanksi memuat kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
4.Kaidah Kualifikasi: adalah jenis kaidah yang menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melakukan perbuatan hukum tertentu atau sebaliknya dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.
5.Kaidah Peralihan, adalah jenis kaidah hukum yang dibuat sebagai sarana untuk mempertemukan aturan hukum tertentu sebagai akibat kehadiran peraturan perundang-undangan dengan keadaan sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kaidah peralihan ini fungsinya untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian dan memberi jaminan perlindungan hukum kepada subjek hukum tertentu.
Landasan Hukum Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Pusat
Setiap perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia, disusun berdasarkan landasan umum penyusunan perundang-undangan yaitu:
a.landasan Filosofis, Pancasila sebagai Filsafah Bangsa (filosofische grondslaag).
b.landasan Yuridis, dari mulai UUD 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-undang
c.landasan Politis, setiap Kebijaksanaan yang dianut Pemerintah di bidang Perundang-undangan.
Untuk landasan hukum Peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat, meliputi:
1.Undang-undang, mempunyai landasan hukum Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan 21 UUD l945 Jo Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966.
2.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, landasan hukumnya Pasal 22 UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
3.Peraturan Pemerintah, mempunyai landasan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/XPRS/1966.
4.Keputusan Presiden, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
5.Instruksi Presiden, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 berbagai jenis Perundang-undangan lainnya sebagai Peraturan Pelaksanaannya diatur berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
Lembaga dan Badan Pemerintahan Republik Indonesia
1.Lembaga-lembaga Pemerintahan Republik Indonesia di Pusat meliputi: Lembaga Pemerintahan yang pengaturannya terdapat dalam UUD 1945, seperti Presiden dan Wakil Presiden, serta para Menteri sebagai pembantunya.
2.Di samping itu dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan Presiden dapat menetapkan badan/pejabat lain yang dapat membantu Presiden menyelenggarakan pemerintahan negara, mereka itu ialah:
a.Pejabat setingkat Menteri
b.Lembaga atau Badan Pemerintah Non-Departemen
c.Direktorat Jenderal Departemen
d.Badan-badan Negara seperti Pertamina
3.Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Lembaga/Badan Pemerintah di Pusat adalah:
a.Peraturan Pemerintah
b.Keputusan Presiden
c.Instruksi Presiden
d.Peraturan dan Keputusan Menteri
e.Instruksi Menteri
f.Keputusan/Peraturan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
g.Keputusan/Peraturan Pimpinan Badan Negara, dan
h.Peraturan atau Keputusan Direktur Jenderal Departemen
4.Sedangkan yang termasuk Lembaga Pemerintahan di Daerah, meliputi: Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Pada satuan pemerintahan terendah kita juga mengenal Pemerintahan Desa/Kelurahan yang sekarang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun l999, yang dipimpin oleh Kepala Desa dan Kepala Kelurahan.
5.Perundang-undangan yang dihasilkan oleh Badan atau Pejabat di daerah adalah:
a.Peraturan Daerah Propinsi
b.Keputusan Kepala Daerah Propinsi (Gubernur)
c.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
d.Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota
e.Peraturan Desa
f.Keputusan Kepala Desa
Jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia kita mengenal banyak jenis peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan yang mempunyai wewenang membuat perundang-undangan.
Meskipun telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, yang mencantumkan tata urutan peraturan perundangan, namun dalam praktik kita mengenal jenis peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
I.Perundang-undangan di Pusat.
1.Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR (S)
2.Undang-Undang
3.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.Peraturan Pemerintah
5.Keputusan Presiden
6.Keputusan Menteri
7.Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen
8.Keputusan Direktur Jenderal Departemen
9.Keputusan Kepala Badan Negara
II.Perundang-undangan di Daerah
1.Peraturan Daerah Provinsi
2.Keputusan Gubernur
3.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
4.Keputusan Bupati/Walikota
5.Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa
Fungsi Aturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum Indonesia
1.Fungsi Undang-undang Dasar, berfungsi sebagai hukum dasar bagi pembentukkan lembaga-lembaga negara, fungsi, dan hubungannya antara satu dengan yang lain, mengatur hubungan antara Negara dengan warga negara, dan memuat cita-cita serta tujuan Negara.
2.Ketetapan MPR, pada dasarnya berfungsi mengatur tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
3.Fungsi undang-undang adalah :
a.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;
b.pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945;
c.pengaturan Lebih lanjut dari Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutkan;
d.pengaturan di bidang materi Konstitusi, seperti organisasi, Tugas dan Wewenang Susunan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
4.Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa
5.Fungsi Peraturan Pemerintah adalah :
a.pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
6.Fungsi Keputusan Presiden yang berisi pengaturan adalah :
a.menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (sesuai Pasal 4 ayat 1 UUD 1945)
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
c.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.
7.Fungsi Keputusan Menteri adalah sebagai berikut:
a.menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya (sesuai dengan pasal 17 ayat 1 UUD 1945).
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden.
c.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya.
d.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
8.Fungsi Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen adalah :
a.menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden. Merupakan delegasian berdasarkan pasal 17 ayat (1) UUD 1945.
9.Fungsi Keputusan Direktur Jenderal Departemen adalah:
a.menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis Keputusan Menteri.
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Menteri.
10.Fungsi Keputusan Badan Negara adalah:
a.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang mengatribusikan dan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan.
b.menyelenggarakan secara umum dalam rangka penyelenggaraan fungsi dan tugasnya.
11.Fungsi Peraturan Daerah Diatur dalam pasal 69 dan pasal 70. UU no. 22 Tahun 1999
12.Fungsi Keputusan Kepala Daerah adalah menyelenggarakan pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang bersangkutan dan tugas-tugas pemerintahan.
13.Fungsi Keputusan Desa adalah mengatur segala sesuatu yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, yang dibuat oleh Kepala Desa setelah mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa. Sedangkan Keputusan Kepala Desa berfungsi sebagai pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan kebijaksanaan kepala desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa.
Proses Penyusunan Perundang-undangan di Pusat
Pembahasan tentang proses penyusunan perundang-undangan di Pusat dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.Setiap bentuk/jenis peraturan perundang-undangan mempunyai prosedur penyusunannya masing-masing. Penyusunan produk hukum MPR berupa Ketetapan MPR meliputi persiapan Rancangan Ketetapan/Keputusan yang disiapkan oleh Badan Pekerja hingga dilakukannya pembahasan dalam Sidang MPR yang mempunyai 4 tingkatan pembahasan/pembicaraan. Hal ini diatur khusus dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
2.Proses penyusunan undang-undang, Perpu dan Peraturan Pemerintah meliputi: Proses persiapan rancangan Undang-undang, Perpu dan Peraturan Pemerintah oleh Pemerintah, lalu pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat dengan 4 tingkatan, kemudian penandatanganan oleh Presiden, dan Pengundangan oleh Menteri Sekretaris Negara. Demikian diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 dan Keputusan DPR Nomor 16/DPR-RI/I/1999-2000.
Proses Penyusunan Perundang-undangan di Daerah
Proses penyusunan peraturan perundang-undangan di Daerah termasuk Pemerintahan Desa, berdasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut menunjuk lebih lanjut pada peraturan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur proses perundang-undangan.
Proses penyusunan Peraturan Daerah, meliputi:
a.Usul inisiatif atau Rancangan Peraturan Daerah disampaikan kepada Ketua DPRD untuk selanjutnya diteruskan kepada Panitia Musyawarah DPRD untuk menentukan hari atau waktu persidangan
b.Rancangan Peraturan Daerah diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada anggota DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari persidangan
c.Kepala Daerah atau anggota DPRD yang mengusulkan (pemrakarsa), menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah itu secara resmi pada Sidang Pleno DPRD
d.Para anggota DPRD mengajukan pendapat setuju, menolak, atau mengusulkan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah itu.
e.Apabila dipandang perlu atas permufakatan Kepala Daerah dengan DPRD dapat dibentuk Panitia Khusus untuk merumuskan isi redaksi atau pun bentuk Rancangan Peraturan Daerah
f.Rancangan yang telah mendapat persetujuan dari DPRD ditandatangani oleh Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah dan sebagai pernyataan persetujuan dari DPRD, Ketua DPRD turut serta menandatangi Peraturan Daerah tersebut.
Proses Pembuatan Keputusan Kepala Daerah, sepenuhnya merupakan wewenang Kepala Daerah yang bersangkutan, umumnya disiapkan oleh Biro Hukum Pemerintah Daerah setempat.
Peraturan Desa dibuat oleh Kepala Desa dengan musyawarah Badan Perwakilan Desa, dan tidak perlu mendapatkan persetujuan Bupati/Walikota, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat. Sedangkan Keputusan Kepala Desa dibuat oleh Kepala Desa tanpa perlu persetujuan siapa pun, fungsinya untuk menjalankan Peraturan Desa.
Pengundangan dan Daya Ikat Peraturan Perundang-undangan
Pengertian Pengundangan ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dengan penempatannya dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan pengertian pengumuman adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kepada khalayak ramai dengan tujuan utama mempermaklumkan isi peraturan tersebut seluas luasnya.
Tempat pengundangan peraturan perundang-undangan yaitu Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara dan Tambahan Berita Negara.
Pengundangan atau pengumuman dalam LN atau BN merupakan syarat formal untuk mempunyai kekuatan mengikat dari perundang undangan. Maksudnya, apabila sudah diundangkan dalam Lembaran Negara atau diumumkan dalam Berita Negara maka perundang undangan tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Setelah diundangkan atau diumumkan secara resmi tersebut, maka orang.dianggap sudah tahu isinya.
Rangka Dasar Peraturan Perundang-undangan
Pada bagian ini dikemukakan tentang rangka dasar yang memuat bagian-bagian penting yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan merujuk pada ketentuan dalam Lampiran I Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Teknik Penyusunan Perundang-undangan. Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1.Judul
2.Pembukaan
3.Batang Tubuh
a.Ketentuan Umum
b.Ketentuan yang mengatur materi muatan
c.Ketentuan Pidana
d.Ketentuan Peralihan
e.Ketentuan Penutup
4.Penutup
5.Penjelasan (jika diperlukan)
6.Lampiran (jika diperlukan)
Penjelasan Peraturan Perundang-undangan
Penjelasan merupakan suatu penafsiran/penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mengetahui maksud latar belakang peraturan perundang-undangan itu diadakan, serta untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipandang masih memerlukan penjelasan. Naskah Penjelasan peraturan perundang-undangan, harus disiapkan bersama-sama dengan Rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Penamaan dari Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan, ditulis sesuai dengan nama peraturan perundang-undangan yang dijelaskan.
Dalam praktik peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya mempunyai dua macam Penjelasan yaitu:
1.Penjelasan Umum berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang pemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi pertimbangan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
2.Penjelasan Pasal demi Pasal, merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penjelasan pasal demi pasal hendaknya dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.Isi penjelasan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b.Isi penjelasan tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;
c.Isi penjelasan tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d.Isi penjelasan tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam Ketentuan Umum.
e.Apabila suatu pasal tidak memerlukan penjelasan, hendaknya diberikan keterangan “Cukup Jelas”.
Jika Lembaran Negara digunakan sebagai tempat mengundangkan “isi” atau teks peraturan perundang-undangan, maka Tambahan Lembaran Negara untuk memuat Penjelasan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan
Perubahan suatu peraturan perundang-undangan adalah kegiatan yang meliputi:
a.Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, Ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lainnya.
b.Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lainnya, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal Ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lainya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu peraturan perundang-undangan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
perubahan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Badan atau Pejabat yang berwenang membentuknya, berdasarkan prosedur yang berlaku, dan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang sejenis
perubahan suatu peraturan perundang-undangan diharapkan dilakukan secara baik tanpa merubah sistematika dari peraturan perundang-undangan yang dirubah
dalam suatu perubahan peraturan maka di dalam perumusan, penamaan, hendaknya disebut peraturan perundang-undangan mana yang diubah dan perubahan yang dilakukan itu adalah perubahan yang ke berapa kalinya.
C.F. Strong mengatakan bahwa konstitusi memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hokum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara. KC Wheare, mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hokum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hokum (non legal). Berdasarkan pengertian ini, konstitusi merupakan bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kespakatan masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek social maupun aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu. James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hokum. Dengan kata lain, hokum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanent dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak pihak yang diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Konstitusi bisa berupa sebuah catatn tertulis; konstitusi dapat diketemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan hokum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hokum konstitusi.
Definisi hukum ialah seperangkat asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan meliputi juga lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam kenyataan (Prof, Muchtar Kusumaatmadja).
Komponen Hukum:
• Asas
• kaidah
• Lembaga (suprastruktur hukum dan infrastruktur hukum)
• Proses
Suprastruktur hukum: lembaga-lembaga yang dibentuk oleh instansi yang berwenang dengan dasar/sesuai hukum Kekuasan dan wewenang
Infrastruktur hukum: lembaga-lembaga yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat
Dialektika Hukum dan Kekuasaan :
Hukum mengatur dan membatasi kekuasaan “Kekuasaan cenderung korup, tanpa pembatasan/hukum kekuasaan pasti korup. Kekuasaan memungkinkan hukum berfungsi. Tanpa kekuasaan hukum akan ‘mandul’.
Sumber hukum :
1. Hukum tidak tertulis
2. Hukum kebiasaan
3. Hukum adat
4. Doktrin/pendapat ahli
5. Yurisprudensi
6. Hukum tertulis (UU No. 10/2004)
7. UUD
8. UU/Perpu
9. Peraturan Pemerintah
10. Keppres
11. Peraturan Daerah
12. Perjanjian/konvensi/traktat
13. Asas hukum yang berlaku dalam peraturan per-UU-an
14. Lex superior de rogat lex inferior
15. Lex posterior de ragat lex anterior
16. Lex specialis de rogat lex generalis
Istilah dan Pengertian Perundang-undangan
Secara etimologis Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.
Menurut Penulis istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang. Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:
1.bersifat tertulis
2.mengikat umum
3.dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.
Tempat (Lokus) Proses dan Teknik Penyusunan Perundang-undangan dalam Kerangka Keilmuan
Tempat (lokus) Proses dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam kerangka ilmu, dapat diketahui dari pandangan Krems yang memperkenalkan cabang ilmu baru yang disebut Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft) yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum Negara. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ini oleh Krems dibagi dua yaitu:
1.Ilmu Perundang-undangan dan
2.Teori Perundang-undangan
Ilmu Perundang-undangan dibaginya menjadi tiga bagian yaitu:
a.Proses perundang-undangan
b.Metode perundang-undangan dan
c.Teknik perundang-undangan.
Berdasarkan pandangan Krems inilah kita dapat menyimpulkan bahwa mata kuliah ini merupakan bagian dari Ilmu Perundang-undangan, sedangkan ilmu perundang-undangan, menurut Krems, Maihofer, dan van der Velden, termasuk dalam cabang Ilmu Hukum dalam arti luas. Mengenai hubungan antara mata kuliah ini dengan disiplin ilmu lain pertama penting dikemukakan pandangan F. Isjwara, bahwa ilmu tidak dapat dipisah-pisahkan dalam kotak-kotak yang terpaku mati (compartementization). Oleh karena itu tidak mungkin ilmu tersebut berdiri sendiri terpisah satu sama lainnya tanpa adanya pengaruh dan hubungan. Demikian halnya mata kuliah ini yang dipengaruhi dan mempunyai hubungan dengan disiplin ilmu lain, terutama dengan cabang ilmu-ilmu sosial yang mempunyai objek kehidupan ‘Negara’. Misalnya dengan Ilmu Politik, Ilmu Sosial, Ilmu Hukum, dan juga dengan Ilmu Pemerintahan. Hubungannya adalah bahwa ilmu perundang-undangan lebih sempit karena objeknya khusus tentang pembentukan peraturan hukum oleh Negara, sedangkan ilmu perundang-undangan dikatakan lebih luas karena menggunakan permasalahan, paradigma, dan metode dari disiplin ilmu-ilmu yang lain. Karena itu Krems menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan (Gesetzgebungswissenchaft) secara eksplisit merupakan ilmu interdisipliner yang berdiri sendiri.
Ilmu Perundang-undangan bersifat normatif dengan orientasi pada melakukan perbuatan menyusun peraturan perundang-undangan, karenanya bermanfaat memberikan bekal pengetahuan dan kemampuan membuat peraturan perundang-undangan.
Asas-asas Perundang-undangan
Beberapa asas dalam perundang-undangan adalah:
a.asas Undang-undang tidak berlaku surut
b.asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c.asas Lex Specialis derogat Lex Generalis.
d.asas Lex posteriore derogat lex priori (Udang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu/lama).
e.asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara 1950.
Kaidah Hukum Peraturan Perundang-undangan
Menurut teori perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok, yaitu:
1.Aspek materiil/Substansial, berkenaan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan.
2.Aspek Formal/Prosedural, berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu.
3.Struktur Kaidah Hukum
Aturan hukum sebagai pedoman perilaku yang dibuat oleh para pengemban kewenangan hukum memiliki struktur dasar yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:
a.subjek kaidah: menunjuk pada subjek hukum yang termasuk ke dalam sasaran penerapan sebuah pengaturan.
b.objek kaidah: menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa saja yang hendak diatur dalam aturan hukum tersebut.
c.operator kaidah: menunjuk pada cara bagaimana objek kaidah diatur, misalnya menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku tertentu, memberikan suatu hak atau membebankan kewajiban tertentu.
d.kondisi kaidah: menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Aturan hukum yang dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat digolongkan menjadi empat, yakni sifat umum abstrak, umum-konkret, individual-abstrak, dan individual-konkret. Keempat sifat kaidah hukum ini digunakan secara kombinatif dalam suatu peraturan perundang-undangan, bergantung pada isi/substansi dari wilayah penerapan/jangkauan berlakunya aturan hukum yang bersangkutan. Kombinasi sifat aturan hukum ini sebagian akan ditentukan pula oleh jenis peraturan yang terdapat dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Makin tinggi tingkatan peraturan perundang-undangan, makin abstrak dan umum sifatnya.
Berdasarkan pemahaman terhadap kaidah-kaidah hukum, dapat diidentifikasi beberapa jenis kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
1.Kaidah Perilaku, adalah jenis kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus atau boleh berperilaku. Fungsinya untuk mengatur perilaku orang-orang dalam kehidupan masyarakat.
2.Kaidah Kewenangan, adalah jenis kaidah hukum yang menetapkan siapa yang berhak atau berwenang untuk menciptakan dan memberlakukan kaidah perilaku tertentu. Fungsinya adalah untuk menetapkan siapa yang berwenang untuk mengatur perilaku orang, menentukan dengan prosedur bagaimana kaidah perilaku itu ditetapkan dan sekaligus menentukan bagaimana suatu kaidah harus ditetapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ditidakjelasan.
3.Kaidah Sanksi, adalah jenis kaidah yang memuat reaksi yuridis atau akibat-akibat hukum tertentu jika terjadi pelanggaran atau ketidakpuasan terhadap kaidah tertentu. Secara umum kaidah sanksi memuat kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
4.Kaidah Kualifikasi: adalah jenis kaidah yang menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melakukan perbuatan hukum tertentu atau sebaliknya dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.
5.Kaidah Peralihan, adalah jenis kaidah hukum yang dibuat sebagai sarana untuk mempertemukan aturan hukum tertentu sebagai akibat kehadiran peraturan perundang-undangan dengan keadaan sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kaidah peralihan ini fungsinya untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian dan memberi jaminan perlindungan hukum kepada subjek hukum tertentu.
Landasan Hukum Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Pusat
Setiap perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia, disusun berdasarkan landasan umum penyusunan perundang-undangan yaitu:
a.landasan Filosofis, Pancasila sebagai Filsafah Bangsa (filosofische grondslaag).
b.landasan Yuridis, dari mulai UUD 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-undang
c.landasan Politis, setiap Kebijaksanaan yang dianut Pemerintah di bidang Perundang-undangan.
Untuk landasan hukum Peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat, meliputi:
1.Undang-undang, mempunyai landasan hukum Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan 21 UUD l945 Jo Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966.
2.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, landasan hukumnya Pasal 22 UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
3.Peraturan Pemerintah, mempunyai landasan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/XPRS/1966.
4.Keputusan Presiden, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Jo Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
5.Instruksi Presiden, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 berbagai jenis Perundang-undangan lainnya sebagai Peraturan Pelaksanaannya diatur berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
Lembaga dan Badan Pemerintahan Republik Indonesia
1.Lembaga-lembaga Pemerintahan Republik Indonesia di Pusat meliputi: Lembaga Pemerintahan yang pengaturannya terdapat dalam UUD 1945, seperti Presiden dan Wakil Presiden, serta para Menteri sebagai pembantunya.
2.Di samping itu dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan Presiden dapat menetapkan badan/pejabat lain yang dapat membantu Presiden menyelenggarakan pemerintahan negara, mereka itu ialah:
a.Pejabat setingkat Menteri
b.Lembaga atau Badan Pemerintah Non-Departemen
c.Direktorat Jenderal Departemen
d.Badan-badan Negara seperti Pertamina
3.Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Lembaga/Badan Pemerintah di Pusat adalah:
a.Peraturan Pemerintah
b.Keputusan Presiden
c.Instruksi Presiden
d.Peraturan dan Keputusan Menteri
e.Instruksi Menteri
f.Keputusan/Peraturan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
g.Keputusan/Peraturan Pimpinan Badan Negara, dan
h.Peraturan atau Keputusan Direktur Jenderal Departemen
4.Sedangkan yang termasuk Lembaga Pemerintahan di Daerah, meliputi: Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Pada satuan pemerintahan terendah kita juga mengenal Pemerintahan Desa/Kelurahan yang sekarang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun l999, yang dipimpin oleh Kepala Desa dan Kepala Kelurahan.
5.Perundang-undangan yang dihasilkan oleh Badan atau Pejabat di daerah adalah:
a.Peraturan Daerah Propinsi
b.Keputusan Kepala Daerah Propinsi (Gubernur)
c.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
d.Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota
e.Peraturan Desa
f.Keputusan Kepala Desa
Jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia kita mengenal banyak jenis peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan yang mempunyai wewenang membuat perundang-undangan.
Meskipun telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, yang mencantumkan tata urutan peraturan perundangan, namun dalam praktik kita mengenal jenis peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
I.Perundang-undangan di Pusat.
1.Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR (S)
2.Undang-Undang
3.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.Peraturan Pemerintah
5.Keputusan Presiden
6.Keputusan Menteri
7.Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen
8.Keputusan Direktur Jenderal Departemen
9.Keputusan Kepala Badan Negara
II.Perundang-undangan di Daerah
1.Peraturan Daerah Provinsi
2.Keputusan Gubernur
3.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
4.Keputusan Bupati/Walikota
5.Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa
Fungsi Aturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum Indonesia
1.Fungsi Undang-undang Dasar, berfungsi sebagai hukum dasar bagi pembentukkan lembaga-lembaga negara, fungsi, dan hubungannya antara satu dengan yang lain, mengatur hubungan antara Negara dengan warga negara, dan memuat cita-cita serta tujuan Negara.
2.Ketetapan MPR, pada dasarnya berfungsi mengatur tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
3.Fungsi undang-undang adalah :
a.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;
b.pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945;
c.pengaturan Lebih lanjut dari Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutkan;
d.pengaturan di bidang materi Konstitusi, seperti organisasi, Tugas dan Wewenang Susunan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
4.Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa
5.Fungsi Peraturan Pemerintah adalah :
a.pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
6.Fungsi Keputusan Presiden yang berisi pengaturan adalah :
a.menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (sesuai Pasal 4 ayat 1 UUD 1945)
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
c.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.
7.Fungsi Keputusan Menteri adalah sebagai berikut:
a.menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya (sesuai dengan pasal 17 ayat 1 UUD 1945).
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden.
c.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya.
d.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
8.Fungsi Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen adalah :
a.menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden. Merupakan delegasian berdasarkan pasal 17 ayat (1) UUD 1945.
9.Fungsi Keputusan Direktur Jenderal Departemen adalah:
a.menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis Keputusan Menteri.
b.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Menteri.
10.Fungsi Keputusan Badan Negara adalah:
a.menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang mengatribusikan dan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan.
b.menyelenggarakan secara umum dalam rangka penyelenggaraan fungsi dan tugasnya.
11.Fungsi Peraturan Daerah Diatur dalam pasal 69 dan pasal 70. UU no. 22 Tahun 1999
12.Fungsi Keputusan Kepala Daerah adalah menyelenggarakan pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang bersangkutan dan tugas-tugas pemerintahan.
13.Fungsi Keputusan Desa adalah mengatur segala sesuatu yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, yang dibuat oleh Kepala Desa setelah mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa. Sedangkan Keputusan Kepala Desa berfungsi sebagai pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan kebijaksanaan kepala desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa.
Proses Penyusunan Perundang-undangan di Pusat
Pembahasan tentang proses penyusunan perundang-undangan di Pusat dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.Setiap bentuk/jenis peraturan perundang-undangan mempunyai prosedur penyusunannya masing-masing. Penyusunan produk hukum MPR berupa Ketetapan MPR meliputi persiapan Rancangan Ketetapan/Keputusan yang disiapkan oleh Badan Pekerja hingga dilakukannya pembahasan dalam Sidang MPR yang mempunyai 4 tingkatan pembahasan/pembicaraan. Hal ini diatur khusus dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
2.Proses penyusunan undang-undang, Perpu dan Peraturan Pemerintah meliputi: Proses persiapan rancangan Undang-undang, Perpu dan Peraturan Pemerintah oleh Pemerintah, lalu pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat dengan 4 tingkatan, kemudian penandatanganan oleh Presiden, dan Pengundangan oleh Menteri Sekretaris Negara. Demikian diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 dan Keputusan DPR Nomor 16/DPR-RI/I/1999-2000.
Proses Penyusunan Perundang-undangan di Daerah
Proses penyusunan peraturan perundang-undangan di Daerah termasuk Pemerintahan Desa, berdasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut menunjuk lebih lanjut pada peraturan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur proses perundang-undangan.
Proses penyusunan Peraturan Daerah, meliputi:
a.Usul inisiatif atau Rancangan Peraturan Daerah disampaikan kepada Ketua DPRD untuk selanjutnya diteruskan kepada Panitia Musyawarah DPRD untuk menentukan hari atau waktu persidangan
b.Rancangan Peraturan Daerah diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada anggota DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari persidangan
c.Kepala Daerah atau anggota DPRD yang mengusulkan (pemrakarsa), menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah itu secara resmi pada Sidang Pleno DPRD
d.Para anggota DPRD mengajukan pendapat setuju, menolak, atau mengusulkan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah itu.
e.Apabila dipandang perlu atas permufakatan Kepala Daerah dengan DPRD dapat dibentuk Panitia Khusus untuk merumuskan isi redaksi atau pun bentuk Rancangan Peraturan Daerah
f.Rancangan yang telah mendapat persetujuan dari DPRD ditandatangani oleh Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah dan sebagai pernyataan persetujuan dari DPRD, Ketua DPRD turut serta menandatangi Peraturan Daerah tersebut.
Proses Pembuatan Keputusan Kepala Daerah, sepenuhnya merupakan wewenang Kepala Daerah yang bersangkutan, umumnya disiapkan oleh Biro Hukum Pemerintah Daerah setempat.
Peraturan Desa dibuat oleh Kepala Desa dengan musyawarah Badan Perwakilan Desa, dan tidak perlu mendapatkan persetujuan Bupati/Walikota, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat. Sedangkan Keputusan Kepala Desa dibuat oleh Kepala Desa tanpa perlu persetujuan siapa pun, fungsinya untuk menjalankan Peraturan Desa.
Pengundangan dan Daya Ikat Peraturan Perundang-undangan
Pengertian Pengundangan ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dengan penempatannya dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan pengertian pengumuman adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kepada khalayak ramai dengan tujuan utama mempermaklumkan isi peraturan tersebut seluas luasnya.
Tempat pengundangan peraturan perundang-undangan yaitu Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara dan Tambahan Berita Negara.
Pengundangan atau pengumuman dalam LN atau BN merupakan syarat formal untuk mempunyai kekuatan mengikat dari perundang undangan. Maksudnya, apabila sudah diundangkan dalam Lembaran Negara atau diumumkan dalam Berita Negara maka perundang undangan tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Setelah diundangkan atau diumumkan secara resmi tersebut, maka orang.dianggap sudah tahu isinya.
Rangka Dasar Peraturan Perundang-undangan
Pada bagian ini dikemukakan tentang rangka dasar yang memuat bagian-bagian penting yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan merujuk pada ketentuan dalam Lampiran I Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Teknik Penyusunan Perundang-undangan. Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1.Judul
2.Pembukaan
3.Batang Tubuh
a.Ketentuan Umum
b.Ketentuan yang mengatur materi muatan
c.Ketentuan Pidana
d.Ketentuan Peralihan
e.Ketentuan Penutup
4.Penutup
5.Penjelasan (jika diperlukan)
6.Lampiran (jika diperlukan)
Penjelasan Peraturan Perundang-undangan
Penjelasan merupakan suatu penafsiran/penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mengetahui maksud latar belakang peraturan perundang-undangan itu diadakan, serta untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipandang masih memerlukan penjelasan. Naskah Penjelasan peraturan perundang-undangan, harus disiapkan bersama-sama dengan Rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Penamaan dari Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan, ditulis sesuai dengan nama peraturan perundang-undangan yang dijelaskan.
Dalam praktik peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya mempunyai dua macam Penjelasan yaitu:
1.Penjelasan Umum berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang pemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi pertimbangan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
2.Penjelasan Pasal demi Pasal, merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penjelasan pasal demi pasal hendaknya dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.Isi penjelasan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b.Isi penjelasan tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;
c.Isi penjelasan tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d.Isi penjelasan tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam Ketentuan Umum.
e.Apabila suatu pasal tidak memerlukan penjelasan, hendaknya diberikan keterangan “Cukup Jelas”.
Jika Lembaran Negara digunakan sebagai tempat mengundangkan “isi” atau teks peraturan perundang-undangan, maka Tambahan Lembaran Negara untuk memuat Penjelasan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan
Perubahan suatu peraturan perundang-undangan adalah kegiatan yang meliputi:
a.Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, Ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lainnya.
b.Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lainnya, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal Ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lainya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu peraturan perundang-undangan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
perubahan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Badan atau Pejabat yang berwenang membentuknya, berdasarkan prosedur yang berlaku, dan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang sejenis
perubahan suatu peraturan perundang-undangan diharapkan dilakukan secara baik tanpa merubah sistematika dari peraturan perundang-undangan yang dirubah
dalam suatu perubahan peraturan maka di dalam perumusan, penamaan, hendaknya disebut peraturan perundang-undangan mana yang diubah dan perubahan yang dilakukan itu adalah perubahan yang ke berapa kalinya.
UNDANG-UNDANG ORGANIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
UNDANG-UNDANG ORGANIK
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
1. Pasal 2 ayat (1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipiih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Contoh : Undang-undang Pemilihan Umum
2. Psal 6 ayat (2)
Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dangan undang-undang.
Contoh : Undang-undang Pemilihan Presiden
3. Pasal 6A Ayat (5)
Tata cara pelaksanaan pemiliha Presiden dan wakil Presiden lebh lanjut diatur dalam undang-undang.
Contoh : Undang-undang Pemilihan Presiden
4. Pasal 11 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian Internasional diatur dengan undang-undang.
Contoh : UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
5. Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
6. Pasal 15
Presiden memmberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
7. Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalm undang-undang.
8. Pasal 17 ayat (4)
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
9. pasal 18 ayat (1)
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagai atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
10. Pasal 18 ayat (7)
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
11. Pasal 18A ayat (2)
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Contoh; UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan Pusat dan daerah
12. Pasal 18B ayat (1)
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah darah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
13. Pasal18B ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanajng masa hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dlam undang-undang.
14. Pasal 19 ayat (2)
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
Contoh; Undang-undang Susunan dan kedudukan DPR, DPD dan DPRD.
15. Pasal 20A ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
16. Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undnag diatur dengan undang-undang.
17. Pasal 22B
Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tatat caranya diatur dalam undang-undang.
18. Pasal 22C ayat (4)
Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur denga undang-undang.
19. Pasal 22D ayat (4)
Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
20. Pasal 22E ayat (6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur denga undang-undang.
21. Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Contoh: UU No. 17 tahun 2003 tentang keunangan negara
22. Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
23. Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
24. Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
25. Pasal 23E ayat (3)
Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/ atau badan sesuai dengan undang-undang.
26. Pasal 23G ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.
27. Pasal 24 ayat (3)
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU No. 5 tahun 2004 tentang, mahkamah Agung, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 8 tahun 2004 tentang peradilan umum, UU No. 9 tahun 2004 tentang peradilan tata usaha negara.
28. Pasal 24A ayat (5)
Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang.
29. Pasal 24B ayat (4)
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
30. Pasal 24C ayat (6)
Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
31. Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
32. Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
33. Pasal 26 ayat (3)
Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
34. Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan den sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Contoh: UU kebebasan Pers, UU N0. 2 tahun2008 tentang Partai Poltitk
35. Pasal 28I ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Conoth: UU No. 39 tahun 1999 tentang Ham dan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
36. Pasal 30 ayat (5)
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan da keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Contoh; UU no.2 tahun 2002 tentang kepolisian negara republic Indonesia
37. Pasal 31 ayat (3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU nO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
38. Pasal 33 ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.: UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber daya Air
Contoh
39. Pasal 34 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
40. Pasal 36C
Ketentuan lebih lanjut mengenai bendera, bahasa dan lambing negara serta lagu kebangsaan diatur dengan undang-undang.
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
1. Pasal 2 ayat (1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipiih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Contoh : Undang-undang Pemilihan Umum
2. Psal 6 ayat (2)
Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dangan undang-undang.
Contoh : Undang-undang Pemilihan Presiden
3. Pasal 6A Ayat (5)
Tata cara pelaksanaan pemiliha Presiden dan wakil Presiden lebh lanjut diatur dalam undang-undang.
Contoh : Undang-undang Pemilihan Presiden
4. Pasal 11 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian Internasional diatur dengan undang-undang.
Contoh : UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
5. Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
6. Pasal 15
Presiden memmberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
7. Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalm undang-undang.
8. Pasal 17 ayat (4)
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
9. pasal 18 ayat (1)
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagai atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
10. Pasal 18 ayat (7)
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
11. Pasal 18A ayat (2)
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Contoh; UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan Pusat dan daerah
12. Pasal 18B ayat (1)
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah darah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
13. Pasal18B ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanajng masa hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dlam undang-undang.
14. Pasal 19 ayat (2)
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
Contoh; Undang-undang Susunan dan kedudukan DPR, DPD dan DPRD.
15. Pasal 20A ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
16. Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undnag diatur dengan undang-undang.
17. Pasal 22B
Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tatat caranya diatur dalam undang-undang.
18. Pasal 22C ayat (4)
Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur denga undang-undang.
19. Pasal 22D ayat (4)
Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
20. Pasal 22E ayat (6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur denga undang-undang.
21. Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Contoh: UU No. 17 tahun 2003 tentang keunangan negara
22. Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
23. Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
24. Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
25. Pasal 23E ayat (3)
Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/ atau badan sesuai dengan undang-undang.
26. Pasal 23G ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.
27. Pasal 24 ayat (3)
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU No. 5 tahun 2004 tentang, mahkamah Agung, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 8 tahun 2004 tentang peradilan umum, UU No. 9 tahun 2004 tentang peradilan tata usaha negara.
28. Pasal 24A ayat (5)
Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang.
29. Pasal 24B ayat (4)
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
30. Pasal 24C ayat (6)
Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
31. Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
32. Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
33. Pasal 26 ayat (3)
Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
34. Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan den sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Contoh: UU kebebasan Pers, UU N0. 2 tahun2008 tentang Partai Poltitk
35. Pasal 28I ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Conoth: UU No. 39 tahun 1999 tentang Ham dan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
36. Pasal 30 ayat (5)
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan da keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Contoh; UU no.2 tahun 2002 tentang kepolisian negara republic Indonesia
37. Pasal 31 ayat (3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang.
Contoh: UU nO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
38. Pasal 33 ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.: UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber daya Air
Contoh
39. Pasal 34 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
40. Pasal 36C
Ketentuan lebih lanjut mengenai bendera, bahasa dan lambing negara serta lagu kebangsaan diatur dengan undang-undang.
Thursday, October 21, 2010
Sumpah Decisoir
Sumpah Decisoir
Sumpah decisior atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan ats permintaan salah satu pihak kepada l;awannya (ps. 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW). Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang yang harus bersumpah disebut delaat.
Berlainan dengan pada sumpah suppletoir maka sumpah decisior dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan sumpah decisior ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan persidangan (ps. 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW).
Inisiatif untuk membebani sumpah decisoir ini dating dari salah satu pihak (deferent) dan ia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya. Dan sumpah decisoir itu dapat dibebankan kepada syapa saja, yang dapat menjadi pihak dalam perkara, secara pribadi atau oleh orang yang diberi kuasa khusus dengan akta otentik (ps. 157 HIR, 184 Rbg, 1945 BW).
Sumpah decisoir ini dapat dibebankan mengenbai segala peristiwa yang menjadi sengketa dan bukan mengenai berbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum (ps. 1930 BW). Seklaipun demikian tetapi peristiwa itu harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang disuruh bersumpah (fait personnel): ps 156 HIR, 183 Rbg, 1931 BW..
Kalau perbuatan itu dilakukan oleh kedua belah pihak dan pihak yang disuruh bersumpah (delaat) tidak bersedia mengucapkan sumpah, dapat mengembalikan sumpah itu kepada lawannya (relaat). Kalau perbuatan yang dimintakan buakan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, melainkan hanya dilakuakan oleh pihak yang dibebani sumpah saja, maka sumpah itu tidak boleh dikembalikan (ps. 1933 BW)
Akibat mengucapkan sumpah decisoir ialah bahwa kebenaran peristiwa yang disumpahkan peristiwa menjadi pasti dan pihak lawan tidak dapat membuktikann bahwa sumpah itu palsu, tanpa menguranggi wewenang jaksa untuk memnuntut berdasarkan sumpah palsu (ps. 242 KUHP), sehingga merupakan bukti yang bersifat menentukan, yang berarti bahwa deferent harus dikalahkan tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lainnya (ps. 177 HIR, 314 Rbg, 1936 BW).
Dikembalikannya sumpah pada lawannya berarti bahwa putusan hakim tergantung pada sifat relaat terhadap pengembaliaan sumpah itu oleh delaat. Tidak semua sumpah decisoir dapat dikembalikan. Sepeti yang telah diketengahkan di muka maka sum[pah decisoir baru dapat dikembalikan oleh delaat apabla sumpah itu bagi deferent berhubungan dengan perbuatan yang dilakukannya sendiri dan bukan dilakukan bersama-sama dengan pihak lawan (ps. 1933 BW).
Baik sumpah suppletoir maupun decisoir kedua-duanya bertujuan menyelesaikan perkara (ps. 155,156 HIR, 182,183 Rbg, 1929, 1940 BW). Dengan telah dilakukannya sumpah maka pemeriksaan perkara dianggap selesai dan hakim tinggal menjatuhkan putusannya.
Sumpah harus dilalkuan di persidangan, kecuali oleh karena alas an-alasan yang sah penyumpahan tidak dapat dilakukan di persidangan, dan hanya dapat dilakukan di hadapan lawannnya (ps. 1937 BW). Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah mimbar (sumpah di gereja) dan sumpah klenteng.
Pada hakekatnya sumpah decisoir maupun suppletoir bukanlah merupakan alat bukti karena merupakan keterangan sepihak, maka tidak mengherankan kalau ada sementara penulis menghendaki agar sumpah sebagai bukti deikeluarkan dari pasal 164 HIR (ps. 284 Rbg, 1866 BW). Apakah dalam suatu perkara kepada salah satu pihak akan diperintahkan atau diizinkan mengangkat sumpah atau tidak adalah sepenuhnya wewenang judex fact.
Sumpah Penaksiran
Sumpah Penaksiran (aestimotoir, schattingsed)
Pasal 155 HIR (ps. 182 Rbg, 1940 BW) mengatur tentang sumpah penaksiran, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi. Di dalam praktek sering terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersagkuta itu simpang siur, maka soal ganti rugi ini harus di pastiakn dengan pembuktian. Hakim tidaklah wajib membebani sumpah penaksiran ini kepada penggugat.
Kekuatan sumpah aestimatoir sama dengan sumpah suppletoir : bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan. Dapat di tambahkan juga disini bahwa sumpah suppletoir bias dilakukan di masjid.
Pasal 155 HIR (ps. 182 Rbg, 1940 BW) mengatur tentang sumpah penaksiran, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi. Di dalam praktek sering terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersagkuta itu simpang siur, maka soal ganti rugi ini harus di pastiakn dengan pembuktian. Hakim tidaklah wajib membebani sumpah penaksiran ini kepada penggugat.
Kekuatan sumpah aestimatoir sama dengan sumpah suppletoir : bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan. Dapat di tambahkan juga disini bahwa sumpah suppletoir bias dilakukan di masjid.
Sumpah Suppletoir
Sumpah Suppletoir (ps. 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW)
Sumpah suppletoir atau pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatanya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
Karena sumpah suppletoir ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya bukti lawan. Pihak lawan boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang didasarkan atas sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka bagi pihak yang di kalahkan terbuka kesempatanya mengajukan request civil setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah itu palsu (ps. 385 Rv).
Dan untuk itu ia selalu harus mengingat syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang ps. 155 HIR, 182 Rbg, 1914 BW. Pihak yang diperintahkan hakim untuk bersumpah suppletoir tidak boleh mengembalikan sumpah suppletoir tersebut kepada lawannya (ps. 1943 BW) : ia hanya dapat menolak atau menjalankannya. Dalam hal ini hakim secara ex officio dapat memerintahkan sumpah suppletoir. Pasal 1932 sampai pasal 1939 BW tidak berlaku bagi sumpah suppletoir.
SUMPAH
SUMPAH
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang di berikan atau di ucapkan pada member janji atau keterangan dengan mengingat Maha Kuasa dari pada Tuhan,dan percaya bahwa syapa yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNYa. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
Dari batasan tersebut diatas maka dapat di simpulkan adanya 2 macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang di sebut sumpah promissoir dan sumpah untuk member keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatory. Termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah saksi ahli, karena sebelum memberikan kesaksian atau pendapatnya harus di ucapkan pernyataan atau janji akan memberikan keterangan yang benar dan tidak lain dari pada sebenarnya, sedangkan sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah sebagai alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu peristiwa.
Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (ps. 155-158,177),Rbg (ps.. 182-185, 314), BW (ps. 1929-1945). HIR menyebutkan 3 maca sumpah sebagai alat bukti yaitu : sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisior) dan sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed).
Pengakuan dengan Klausula
Pengakuan dengan Klausula (geclausuleerde bekentenis)
Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:
"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya,menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberipengakuan. Apabila ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya, konsekuensinya dia akan dikalahkan.
Akibatnya maka tuntutan penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan.Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW).
Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan,
kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat. Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya penggugat diwajibkan untuk membuktikan kebenaran gugatannya.
Pada umumnya penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu:
Pertama, dia menolak seluruh pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri;
Kedua, membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti, maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna serta mengikat.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
- Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
- Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya masing-masing.
- Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
- Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
- Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran material.
- Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana.
Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dari tergugat tentang hal
pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini pun pada hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya adalah bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat keterangan tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat.
Sebagai contoh, pada awalnya tergugat mengakui gugatan penggugat, namun kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk tidak memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan oleh tergugat karena misalnya dia telah melakukan kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat) kini mempunyai tagihan dari penggugat. Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:
"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya,menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberipengakuan. Apabila ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya, konsekuensinya dia akan dikalahkan.
Akibatnya maka tuntutan penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan.Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW).
Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan,
kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat. Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya penggugat diwajibkan untuk membuktikan kebenaran gugatannya.
Pada umumnya penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu:
Pertama, dia menolak seluruh pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri;
Kedua, membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti, maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna serta mengikat.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
- Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
- Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya masing-masing.
- Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
- Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
- Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran material.
- Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana.
Pengakuan dengan Kualifikasi
Pengakuan dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang dilakukan oleh
tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.30 Di dalam pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran menurut pandangannya sendiri.
Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan penggugat, sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari gugatan. Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu harus diterima secara bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.
PENGAKUAN MURNI
Pengakuan Murni (aveu pur et simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan posita pihak lawan Penggugat menyatakan sesuatu peristiwa pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan.
Pengakuan dapat berupa ucapan atau isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan tulisan. Oleh karena itu pengakuan secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus alat bukti surat. Hakikat dari pengakuan secara tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya atau materinya termasuk kategori fungsi sebagai pengakuan, sedangkan apabila dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila ternyata hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan itu harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang mengajukan pengakuan tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di muka sidang itu tidak
dibantah oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat
bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat jawaban tergugat, kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara lisan di depan sidang.
Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal menerangkan bahwa terdapat sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan tersebut. Dengan kata lain, surat itu berisikan keterangan dari orang yang menandatanganinya.
Sedangkan kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian tentang isi yang diterangkan di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya mengemukakan bahwa yang penting adalah kekuatan pembuktian materiil, karena kekuatan pembuktian materiil itu menilai "apakah memang benar sesuatu yang diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan tersebut sesuai dengan kebenaran". Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak menyangkal kebenaran gugatan penggugat atau bagian-bagian tertentu dari gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap diakui oleh tergugat secara diam-diam.
Pada dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan penggugat seluruhnya, maka hakim harus menganggap peristiwa yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja, dalam gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan tergugat masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk menghindari timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik.
Pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti peristiwa yang bersangkutan. Apabila suatu perkara tidak memiliki bukti-bukti lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka pengadilan menerima pengakuan itu antara lain dikatakan bahwa: “gugatan penggugat seluruhnya dianggap diakui secara diam-diam kebenarannya apabila hal-hal lain selebihnya dalam surat gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat.”
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan posita pihak lawan Penggugat menyatakan sesuatu peristiwa pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan.
Pengakuan dapat berupa ucapan atau isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan tulisan. Oleh karena itu pengakuan secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus alat bukti surat. Hakikat dari pengakuan secara tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya atau materinya termasuk kategori fungsi sebagai pengakuan, sedangkan apabila dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila ternyata hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan itu harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang mengajukan pengakuan tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di muka sidang itu tidak
dibantah oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat
bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat jawaban tergugat, kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara lisan di depan sidang.
Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal menerangkan bahwa terdapat sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan tersebut. Dengan kata lain, surat itu berisikan keterangan dari orang yang menandatanganinya.
Sedangkan kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian tentang isi yang diterangkan di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya mengemukakan bahwa yang penting adalah kekuatan pembuktian materiil, karena kekuatan pembuktian materiil itu menilai "apakah memang benar sesuatu yang diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan tersebut sesuai dengan kebenaran". Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak menyangkal kebenaran gugatan penggugat atau bagian-bagian tertentu dari gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap diakui oleh tergugat secara diam-diam.
Pada dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan penggugat seluruhnya, maka hakim harus menganggap peristiwa yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja, dalam gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan tergugat masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk menghindari timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik.
Pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti peristiwa yang bersangkutan. Apabila suatu perkara tidak memiliki bukti-bukti lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka pengadilan menerima pengakuan itu antara lain dikatakan bahwa: “gugatan penggugat seluruhnya dianggap diakui secara diam-diam kebenarannya apabila hal-hal lain selebihnya dalam surat gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat.”
PENGAKUAN
PENGAKUAN
Pengakuan dapat diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Pengakuan dimuka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salahsatu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hokum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan pihak lawan. Dasar hukumnya adalah Pasal 174, 175 dan 176 HIR.
Faktor-faktor yang Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa danmengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ataukurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.17 Dalam menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya, hakim memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan para pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah). Kedua, alat-alat bukti yang berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim dan keterangan para saksi).Terdapat dalam 17 Pasal 14 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970.
Bentuk-bentuk Pengakuan
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa pada permulaan sidang, hakim harus senantiasa berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila perdamaian itu berhasil, maka hakim akan membuat akta perdamaian, sehingga sengketa itu berakhir dengan dibuatnya akta perdamaian tersebut. Akan tetapi apabila para pihak tidak berhasil didamaikan, maka hakim akan mempersilakan penggugat untuk membacakan gugatannya. Setelah itu giliran tergugat untuk mengajukan jawabannya. Jawaban tergugat dapat diajukan secara lisan atau tertulis. Jawaban juga dapata berupa referte, bantahan, dan pengakuan.
Dalam praktik banyak terjadi penggabungan antara pengakuan dan sangkalan. Akibatnya terjadi pengakuan yang tidak bulat. Akan tetapi pada dasarnya pengakuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal itu karena menyangkut pembuktian, sebab apabila sudah ada pengakuan tidak perlu lagi pembuktian. Hanya hal-hal yang disangkal yang memerlukan pembuktian lebih lanjut. Disebabkan karena adanya pengakuan yang tidak bulat, yurisprudensi dan
Ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi tiga jenis pengakuan.
Pertama Pengakuan murni;
Kedua, pengakuan dengan kualifikasi; Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan semata-mata sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi terhadap pengakuan. Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan yang bersifat membebaskan.
Ketiga, pengakuan dengan klausula
Pengakuan dapat diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Pengakuan dimuka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salahsatu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hokum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan pihak lawan. Dasar hukumnya adalah Pasal 174, 175 dan 176 HIR.
Faktor-faktor yang Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa danmengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ataukurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.17 Dalam menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya, hakim memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan para pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah). Kedua, alat-alat bukti yang berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim dan keterangan para saksi).Terdapat dalam 17 Pasal 14 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970.
Bentuk-bentuk Pengakuan
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa pada permulaan sidang, hakim harus senantiasa berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila perdamaian itu berhasil, maka hakim akan membuat akta perdamaian, sehingga sengketa itu berakhir dengan dibuatnya akta perdamaian tersebut. Akan tetapi apabila para pihak tidak berhasil didamaikan, maka hakim akan mempersilakan penggugat untuk membacakan gugatannya. Setelah itu giliran tergugat untuk mengajukan jawabannya. Jawaban tergugat dapat diajukan secara lisan atau tertulis. Jawaban juga dapata berupa referte, bantahan, dan pengakuan.
Dalam praktik banyak terjadi penggabungan antara pengakuan dan sangkalan. Akibatnya terjadi pengakuan yang tidak bulat. Akan tetapi pada dasarnya pengakuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal itu karena menyangkut pembuktian, sebab apabila sudah ada pengakuan tidak perlu lagi pembuktian. Hanya hal-hal yang disangkal yang memerlukan pembuktian lebih lanjut. Disebabkan karena adanya pengakuan yang tidak bulat, yurisprudensi dan
Ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi tiga jenis pengakuan.
Pertama Pengakuan murni;
Kedua, pengakuan dengan kualifikasi; Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan semata-mata sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi terhadap pengakuan. Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan yang bersifat membebaskan.
Ketiga, pengakuan dengan klausula
Persangkaan-persangkaan
PERSANGKAAN - PERSANGKAAN
Pada dasarnya persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya, pembuktian ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain.
Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan :
a. persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke, rechterlijke vermoedens, atau paesumptiones facti). Hakimlah yang menentukan apakah mungkin dan seberapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain.
b. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke atau rechts vermoedens, praesumptiones juris). Undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan.
Persangkaan berdasarkan hukum ini dibagi dua:
1. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
2. praesumptiones juris et de jure yaitu persangkaan yang berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.
Persangkaan diatur dalam HIR (ps.173), Rbg (ps. 310) dan BW (ps. 1915-1922). Menurut pasal 1915 BW maka persangkaan adalah kesimpulan –kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kea rah peristiwa lain yang terang kenyataannya.
Persangkaan berdasarkan undang-undang, menurut pasal 1916 BW ialah persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain :
1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaanya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang yang dapat di jadikan kesimpulan guna mendapatkan hak kepemilikan atau bebas dari hutang.
3. Kekuatan yang di berikan oleh undang-undang kepada keputusan hakim.
4. Kekuatan yang di berikan undang-undang oleh pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.
Tentang persangkaan menurut undang-undang yang tidak menguntungkan pembuktian lawan diatur dalam pasal 1921 ayat 2 BW, yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu (ps. 184, 911, 1618 BW). Persangkaan yang tidak memungkinkan bukti lawan pada hakekatnya bukanlah persangkaan.Contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan pembuktian lawan misalnya : pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439 BW, 42, 44 Peraturan kepailitan.
Pada dasarnya persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya, pembuktian ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain.
Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan :
a. persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke, rechterlijke vermoedens, atau paesumptiones facti). Hakimlah yang menentukan apakah mungkin dan seberapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain.
b. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke atau rechts vermoedens, praesumptiones juris). Undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan.
Persangkaan berdasarkan hukum ini dibagi dua:
1. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
2. praesumptiones juris et de jure yaitu persangkaan yang berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.
Persangkaan diatur dalam HIR (ps.173), Rbg (ps. 310) dan BW (ps. 1915-1922). Menurut pasal 1915 BW maka persangkaan adalah kesimpulan –kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kea rah peristiwa lain yang terang kenyataannya.
Persangkaan berdasarkan undang-undang, menurut pasal 1916 BW ialah persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain :
1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaanya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang yang dapat di jadikan kesimpulan guna mendapatkan hak kepemilikan atau bebas dari hutang.
3. Kekuatan yang di berikan oleh undang-undang kepada keputusan hakim.
4. Kekuatan yang di berikan undang-undang oleh pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.
Tentang persangkaan menurut undang-undang yang tidak menguntungkan pembuktian lawan diatur dalam pasal 1921 ayat 2 BW, yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu (ps. 184, 911, 1618 BW). Persangkaan yang tidak memungkinkan bukti lawan pada hakekatnya bukanlah persangkaan.Contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan pembuktian lawan misalnya : pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439 BW, 42, 44 Peraturan kepailitan.
Wednesday, October 20, 2010
ALAT BUKTI SAKSI
ALAT BUKTI SAKSI
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR. Adapun syarat-syarat saksi, yakni terdiri dari syarat formil dan syarat materiil.
a. Syarat formil saksi ialah:
1) Berumur 15 tahun ke atas
2) Sehat akalnya
3) Tidak ada hubungan keluarga seadarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang menentukan lain
4) Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak dengan meskipun sudah bercerai
5) Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah, kecuali Undang-undang menentukan lain
6) Menghadap di persidangan
7) Mengangkat sumpah menurut agamanya
8) Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuattkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali mengenai perzinaan.
9) Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1) HIR).
10) Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).
b. Syarat materiil saksi ialah:
1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (pasal 171 HIR / 308 R.Bg)
2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya.
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri
4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR)
5. Tidak bertentangan akal sehat.
Kewajiban saksi ada tiga, yaitu:
1. Menghadiri sidang sesuai panggilan
2. mengangkat sumpah sesuai agamanya
3. Memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan alami.
Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.
Dalam hal menimbang harga kesaksian Hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, cocoknya kesaksian-kesaksian dari yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab – sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perikelakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus testis nulus testis (pasal 169 HIR/306
R.Bg) artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti lain seperti sumpah atau lainnya.
Testimonium de auditu (pasal 171 HIR) ialah kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar, dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain. Dalam bahasa fiqih disebut istifadhoh, pada dasarnya tidak dilarang mendengarkan kesaksian mereka.
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR. Adapun syarat-syarat saksi, yakni terdiri dari syarat formil dan syarat materiil.
a. Syarat formil saksi ialah:
1) Berumur 15 tahun ke atas
2) Sehat akalnya
3) Tidak ada hubungan keluarga seadarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang menentukan lain
4) Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak dengan meskipun sudah bercerai
5) Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah, kecuali Undang-undang menentukan lain
6) Menghadap di persidangan
7) Mengangkat sumpah menurut agamanya
8) Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuattkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali mengenai perzinaan.
9) Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1) HIR).
10) Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).
b. Syarat materiil saksi ialah:
1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (pasal 171 HIR / 308 R.Bg)
2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya.
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri
4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR)
5. Tidak bertentangan akal sehat.
Kewajiban saksi ada tiga, yaitu:
1. Menghadiri sidang sesuai panggilan
2. mengangkat sumpah sesuai agamanya
3. Memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan alami.
Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.
Dalam hal menimbang harga kesaksian Hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, cocoknya kesaksian-kesaksian dari yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab – sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perikelakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus testis nulus testis (pasal 169 HIR/306
R.Bg) artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti lain seperti sumpah atau lainnya.
Testimonium de auditu (pasal 171 HIR) ialah kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar, dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain. Dalam bahasa fiqih disebut istifadhoh, pada dasarnya tidak dilarang mendengarkan kesaksian mereka.
Tuesday, October 12, 2010
Surat Perintah Penahanan
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
yang cukup, tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat
dikenakan penahanan.
2. Bahwa tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri atau merusak/menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
3. Maka perlu dikeluarkan Surat Perintah ini.
DASAR : 1. Pasal 7 ayat (1) huruf (d), Pasal 11, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 24 ayat (1) KUHAP.
2. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
3. Laporan Polisi No.Pol. : LP / 778 / VI / 2008 / SPK, tanggal 5 Juni 2008
D I P E R I N T A H K A N
Nama : RAMDHANI TRI
Pangkat/ Nrp :BRIPTU/ 65090137
JABATAN : Penyidik Pembantu
1. Melakukan penahanan terhadap:
Nama : POLTAK SINAGA
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 1 April 1980
Agama : Katholik
Pekerjaan : Wiraswasta
Bangsa/Suku : Indonesia/Batak
Alamat : Jln. Antapani No. 10 Bandung
Karena diduga telah melakukan Tindak Pidana Pembunuhan atau penganiyaan berencana yang menyebabkan kematian yang keduanya dikaitkan dengan turut serta melakukan yang dapat dihukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 Jo. 55 ayat (1) ke-1 atau 353 ayat (3) Jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
2.Menempatkan tersangka di Rumah Tahanan Negara di Polwiltabes Bandung selama 20 hari terhitung sejak tanggal 12 Juni 2008 s/d 2 Juli 2008.
DIKELUARKAN DI : BANDUNG
PADA TANGGAL : 12 Juni 2008
KEPALA KEPOLISIAN WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
Drs. EDISON SITORUS, SH, MH
KOMBES NRP.86120397
Kelihatan :
Pelanggaran No :
Slinan :
Hari Kamis tanggal 12 Juni 2008. Satu (1) lembar surat perintah penahanan diserahkan kepada tersangka/keluarga tersangka.
Yang menerima
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
SURAT PERINTAH PENAHANAN
No. Pol. Sp. Han/1/517/VI/ 2008/RESKRIM
PERTIMBANGAN : 1. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyelidikan sementara diperoleh bukti yang cukup, tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat
dikenakan penahanan.
2. Bahwa tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri atau merusak/menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
3. Maka perlu dikeluarkan Surat Perintah ini.
DASAR : 1. Pasal 7 ayat (1) huruf (d), Pasal 11, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 24 ayat (1) KUHAP.
2. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
3. Laporan Polisi No.Pol. : LP / 778 / VI / 2008 / SPK, tanggal 5 Juni 2008
D I P E R I N T A H K A N
Nama : RAMDHANI TRI
Pangkat/ Nrp :BRIPTU/ 65090137
JABATAN : Penyidik Pembantu
1. Melakukan penahanan terhadap:
Nama : POLTAK SINAGA
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 1 April 1980
Agama : Katholik
Pekerjaan : Wiraswasta
Bangsa/Suku : Indonesia/Batak
Alamat : Jln. Antapani No. 10 Bandung
Karena diduga telah melakukan Tindak Pidana Pembunuhan atau penganiyaan berencana yang menyebabkan kematian yang keduanya dikaitkan dengan turut serta melakukan yang dapat dihukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 Jo. 55 ayat (1) ke-1 atau 353 ayat (3) Jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
2.Menempatkan tersangka di Rumah Tahanan Negara di Polwiltabes Bandung selama 20 hari terhitung sejak tanggal 12 Juni 2008 s/d 2 Juli 2008.
DIKELUARKAN DI : BANDUNG
PADA TANGGAL : 12 Juni 2008
KEPALA KEPOLISIAN WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
Drs. EDISON SITORUS, SH, MH
KOMBES NRP.86120397
Kelihatan :
Pelanggaran No :
Slinan :
Hari Kamis tanggal 12 Juni 2008. Satu (1) lembar surat perintah penahanan diserahkan kepada tersangka/keluarga tersangka.
Yang menerima
Yang Menyerahkan
POLTAK SINAGA
RAMDHANI TRI
BRIP T U NRP. 65090137
Surat Perintah Penangkapan
Seringkali pelanggaran hak tersangka terjadi dalam proses penyelidikan dan penyidikan, salah satu penyebab utamanya adalah tersangka yang tidak mengerti prosedur penangkapan bagaimana. Bila terjadi penangkapan, tersangka harus menanyakan apakah penangkapan atas dirinya disertai Surat Perintah Penangkapan, bila tidak disertai, tersangka tidak wajib mematuhi perintah penangkapan oleh aparat.
Namun, bila penangkapan telah terjadi dan tersangka baru menyadari dirinya ditangkap tanpa prosedur yang benar, tersangka dapat mengajukan Praperadilan.cermati tanggal pada Surat Perintah Penangkapan!
contoh Surat Perintah Penangkapan:
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
SURAT PERINTAH PENANGKAPAN
Sp. Kap / 224 / VI / 2008 / Reskrim
PERTIMBANGAN : Bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyelidikan tindak pidana dan atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil 2 ( dua kali berturut-turut tidak datang tanpa alasan yang sah ), maka perlu mengeluarkan surat perintah ini.
DASAR : 1. Pasal 30 ayat 4 UUd 1945
2. Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka 1, pasal 7 ayat (1) huruf
(d).Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 37 KUHP.
3. UU No. 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI.
4. Laporan Polisi No. Pol : LP / 778 / IX / Spk, tanggal
10 Juni 2008
DIPERINTAHKAN
Kepada : 1. Nama : ANGGA PERKASA
Pangkat/ Nrp : AKP/ 60060873
Jabatan : PENYIDIK
2. Nama : RAMDHANI TRI
Pangkat/ Nrp :BRIPTU/ 65090137
Jabatan : PENYIDIK PEMBANTU
3. Nama : ASRAH
Pangkat/ Nrp : BRIPDA/ 73110098
Jabatan : PENYIDIK PEMBANTU
UNTUK : 1. Melakukan penangkapan terhadap :
Nama : Poltak Sinaga
T.T.L : Medan, 1 April 1980
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Katholik
Alamat : Jln. Antapani No. 10 Bandung
Dan membawa ke kantor intansi untuk Negara dilakukan pemeriksaan Karena diduga telah melakukan Tindak Pidana Pembunuhan atau penganiyaan berencana yang menyebabkan kematian yang keduanya dikaitkan dengan turut serta melakukan yang dapat dihukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 Jo. 55 ayat (1) ke-1 atau 353 ayat (3) Jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
2. Surat perintah ini berlaku dari tanggal 10 Juni 2008 s/d 11 Juni 2008.
3. setelah melaksanakan surat perintah ini agar membuat BAP Penangkapannya.
DIKELUARKAN DI : BANDUNG
PADA TANGGAL : 10 Juni 2008
An. KEPALA KEPOLISIAN WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL
Selaku Penyidik
Yudhitia Aldiansyah, S. IK
A K B NRP 73090437
Dan hari ini Selasa 10 Juni 2008, 1 (satu) lembar surat Perintah ini diserahkan pada tersangka.
Tersangka Yang menyerahkan, Penyidik Pembantu
Poltak Sinaga Ramdani Tri
BRIPTU NRP 65090137
Contoh Surat Dakwaan
Contoh surat dakwaan :
KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
I. IDENTITAS TERDAKWA
Nama Lengkap : Poltak Sinaga
Tempat lahir : Medan
Umur/Tanggal lahir : 28 Tahun/ 1 April 1980
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Katolik
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. Antapani No.10 Bandung
II. PENAHANAN
• Poltak Sinaga:
-Ditahan Penyidik:
11 Juni 2008 sampai 30 Juni 2008.
- Diperpanjang oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bandung:
1juli 2008 sampai dengan 9 Agustus 2008.
III. DAKWAAN
PRIMAIR
---------- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO (dalam sidang yang berbeda), pada hari Rabu, 4 Juni 2008, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Juni 2008 atau setidak-tidaknya pada tahun 2008, sekitar pukul 13.20 WIB bertempat di PT. Abadi Mekar, Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung, dimana TERDAKWA AHMAD HAMBALI (dalam sidang yang berbeda) merupakan aktor intelektual dari perencanaan tindakan yang dilakukan, bersama-sama atau secara sendiri-sendiri dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu melakukan perbuatan merampas nyawa orang lain, yaitu korban yang bernama ABDUL MANAN yang rangkaian perbuatannya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:------------------------
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI, adalah rekan kerja korban Abdul manan di PT. Abadi Mekar yang menjabat sebagai Komisaris Utama.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI, menganggap korban telah menjual aset-aset perusahaan tanpa persetujuannya atau RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham)
- Bahwa pada tanggal 15 Mei 2008 pukul 15.00 WIB terjadi perselisihan antara TERDAKWA AHMAD HAMBALI dengan korban dalam forum RUPS yang disaksikan oleh DRS. SULAEMAN selaku Direktur PT. Abadi Mekar, HARYONO selaku Komisaris PT. Abadi Mekar. Bahwa atas terjadinya perselisihan yang terjadi selama ini membuat TERDAKWA AHMAD HAMBALI sangat kesal.
- Bahwa perasaan kesal dari TERDAKWA AHMAD HAMBALI menimbulkan suatu motif, untuk melaksanakan tindakan pidana tersebut di atas.
- Bahwa untuk merealisasikan kekesalannya tersebut pada hari Minggu tanggal 1 Juni 2008 pukul 17.00 WIB TERDAKWA AHMAD HAMBALI bermaksud mengadakan pertemuan dengan mantan pengawal pribadinya yaitu TERDAKWA POLTAK SINAGA bersama teman dari TERDAKWA POLTAK SINAGA yaitu TERDAKWA ADI KALALO, di Kafe Kongo. Di Dago Pakar.
- Bahwa di Kafe Kongo tersebut, TERDAKWA AHMAD HAMBALI sebagai tokoh intelektual, berkehendak dengan memberikan hadiah Rp. 3.000.000,- menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menagih aset-aset perusahaan pada korban, yang dianggap telah dijual oleh korban.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk membunuh koban apabila korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan tersebut.
- Bahwa setelah pertemuan itu, Karena anjuran TERDAKWA AHMAD HAMBALI, maka timbul pula niat TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menekan korban.
- Bahwa pada hari Rabu, 4 Juni 2008 Pukul sekitar 13.20 WIB, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO melakukan persiapan pelaksanaan dengan mendatangi kantor korban PT.Abadi Mekar yang bertempat di Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, dengan menggunakan identitas palsu, sebagai rekan bisnis korban yaitu TERDAKWA POLTAK SIANAGA menjadi wisnutama, TERDAKWA ADI KALALO menjadi Setiawan Putra, dimana pada saat kedatangan mereka disaksikan langsung oleh sekretaris korban Sarah Ramdani.
- Bahwa terjadi percekcokan antara TERDAKWA POLTAK SINAGA, TERDAKWA ADI KALALO dan korban, karena korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan.
- TERDAKWA POLTAK SINAGA selanjutnya memegangi korban dari belakang, dan TERDAKWA ADI KALALO memukul ke bagian-bagian vital tubuh korban yaitu wajah, leher, dan dada korban dengan leluasa.
- Bahwa korban berhasil melepaskan diri dari pegangan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan sempat memukul TERDAKWA ADI KALALO hingga terpojok, kemudian TERDAKWA POLTAK SINAGA menghampiri korban dan memukul bagian vital tubuh korban yaitu bagian belakang kepala korban dengan vas bunga, dan bagian depan kepala korban terbentur ujung meja.
- Bahwa setelah melaksanakan tindakan tersebut, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO pergi meninggalkan kantor korban yang disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani pada pukul 14.30 WIB.
- Bahwa pada saat Sarah Ramdani masuk ke ruangan KORBAN, Sarah Ramdani menemukan KORBAN dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada pukul 16.20 WIB.
Bahwa akibat luka dibagian-bagian vital yang dilakukan TERDAKWA Poltak Sinaga dan Adi Kalalo menyebabkan KORBAN/ABDUL MANAN meninggal dunia, sesuai dengan visum et repertum NO. 101/Tahun 2008 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dokter Konsultan H. Noorman Heryadi, dr.Sp.F. (K) pada rumah sakit Dr. Hasan Sadikirn, Bandung, yang menerangkan adanya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan laboratorium dengan kesimpulan bahwa korban meninggal dunia akibat luka robek menganga di dahi sepanjang 5cm, dalam 1 cm, terdapat hematoma (memar). Pada bagian kepala, memar pada bagian permukaan tempurung kepala bagian belakang kiri dengan ukuran 4x2cm. Kelopak mata warna pucat agak kebiruan. Luka memar di bagian pipi. Ada memar di bagian dada, dengan bercak berwarna hijau di bawah bahu kiri ukuran 5x5cm, dada samping kiri ukuran 4x2cm, di dada kanan sampai perut kanan atas ukuran 9x3½ cm dan tidak hilang dengan penekanan.
-----Perbuatan Poltak Sinaga Memenuhi Rumusan dan diancam Pidana Pasal 340 jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHPidana-----------------
SUBSIDAIR
---------- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO, pada hari Rabu, 4 Juni 2008, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Juni 2008, sekitar pukul 13.20 WIB bertempat di PT. Abadi Mekar, Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung, dimana TERDAKWA AHMAD HAMBALI merupakan aktor intelektual dari perbuatan yang dilakukan, Bersama-sama atau secara sendiri-sendiri dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian orang lain, yaitu korban yang bernama Abdul Manan yang rangkaian perbuatannya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:------------------------
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI , Adalah rekan Kerja Korban/Abdul Manan di PT. Abadi Mekar yang menjabat sebagai Komisaris Utama.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI , menganggap korban telah menjual aset-aset perusahaan tanpa persetujuannya atau RUPS ( Rapat Umum Pemegang Saham ).
- Bahwa pada tanggal 15 Mei 2008 pukul 15.00 WIB terjadi perselisihan antara TERDAKWA AHMAD HAMBALI dan korban dalam forum RUPS yang disaksikan oleh DRS. SULAEMAN selaku Direktur PT. Abadi Mekar, HARYONO selaku Komisaris PT. Abadi Mekar dan CECEP SUPRIYATNA selaku Office Boy, yang pada intinya meminta agar korban segera mengembalikan aset perusahaan dan apabila korban menolak, maka korban akan diberi pelajaran.
- Bahwa atas terjadinya perselisihan yang terjadi selama ini membuat TERDAKWA AHMAD HAMBALI sangat kesal.
- Bahwa untuk merealisasikan kekesalannya tersebut, pada hari Jumat tanggal 16 Mei 2008 pukul 17.00 WIB TERDAKWA AHMAD HAMBALI mengadakan pertemuan dengan mantan pengawal pribadinya yaitu TERDAKWA POLTAK SINAGA bersama teman dari TERDAKWA POLTAK SINAGA yaitu TERDAKWA ADI KALALO, di Kafe Kongo di Dago Pakar.
- Bahwa di Kafe Kongo tersebut, TERDAKWA AHMAD HAMBALI , sebagai tokoh intelektual, berkehendak memberikan hadiah Rp. 3.000.000, menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA , dan TERDAKWA ADI KALALO , untuk menagih aset-aset perusahaan, yang dianggap telah dijual oleh korban
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menganiaya korban, apabila korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan tersebut.
- Bahwa setelah pertemuan itu, karena anjuran TERDAKWA AHMAD HAMBALI, maka timbul pula niat TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menganiaya korban
- Bahwa pada hari Rabu, 4 Juni 2008 Pukul 13.20 WIB, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO mendatangi kantor korban PT.Abadi Mekar yang bertempat di Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, dengan menyamar sebagai rekan bisnis korban dimana TERDAKWA POLTAK SINAGA menjadi Wisnutama, TERDAKWA ADI KALALO menjadi Setiawan Putra, yang diketahui atau disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani.
- Bahwa terjadi percekcokan antara TERDAKWA POLTAK SINAGA , TERDAKWA ADI KALALO dan korban karena korban dianggap menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan.
- Bahwa untuk merealisasikan niat dan rencananya untuk menganiaya korban, TERDAKWA POLTAK SINAGA memegang korban dari belakang, dan TERDAKWA ADI KALALO dengan sadar memukul korban di bagian wajah, leher, dan dada korban dengan leluasa.
- Bahwa korban berhasil melepaskan diri dari pegangan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan sempat memukul TERDAKWA ADI KALALO hingga terpojok.
- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA menghampiri korban dan memukul korban dibagian belakang kepala korban dengan vas bunga, dan bagian depan kepala korban terbentur ujung meja.
- Bahwa setelah melaksanakan niatnya dan rencana tersebut, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO pergi meninggalkan kantor korban yang disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani pada pukul 14.30.
- Bahwa pada saat Sarah Ramdani masuk ke ruangan KORBAN, Sarah Ramdani menemukan KORBAN dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada pukul 16.20 WIB.
Bahwa akibat pukulan dan luka yang diilakukan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO menyebabkan KORBAN/ABDUL MANAN meninggal dunia, sesuai dengan visum et repertum NO. 101/Tahun 2008 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dokter Konsultan H. Noorman Heryadi, dr,Sp.F. (K)Pada rumah sakit Dr. Hasan Sadikirn, Bandung, yang menerangkan adanya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan laboratorium dengan kesimpulan bahwa KORBAN/Abdul Manan meninggal dunia akibat luka robek menganga di dahi sepanjang 5cm, dalam 1 cm, terdapat hematoma (memar). Pada bagian kepala terdapat memar pada bagian permukaan tempurung kepala bagian belakang kiri dengan ukuran 4x2cm. Kelopak mata warna pucat agak kebiruan, luka memar di bagian pipi. Ada memar di bagian dada, dengan bercak berwarna hijau di bawah bahu kiri ukuran 5x5cm, dada samping kiri ukuran 4x2cm, di dada kanan sampai perut kanan atas ukuran 9x3½ cm dan tidak hilang dengan penekanan.
----- Perbuatan Poltak Sinaga Memenuhi Rumusan dan diancam Pidana Pasal 353 jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
SURAT DAKWAAN
Nomor :178/SD /VII/2008
I. IDENTITAS TERDAKWA
Nama Lengkap : Poltak Sinaga
Tempat lahir : Medan
Umur/Tanggal lahir : 28 Tahun/ 1 April 1980
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Katolik
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. Antapani No.10 Bandung
II. PENAHANAN
• Poltak Sinaga:
-Ditahan Penyidik:
11 Juni 2008 sampai 30 Juni 2008.
- Diperpanjang oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bandung:
1juli 2008 sampai dengan 9 Agustus 2008.
III. DAKWAAN
PRIMAIR
---------- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO (dalam sidang yang berbeda), pada hari Rabu, 4 Juni 2008, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Juni 2008 atau setidak-tidaknya pada tahun 2008, sekitar pukul 13.20 WIB bertempat di PT. Abadi Mekar, Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung, dimana TERDAKWA AHMAD HAMBALI (dalam sidang yang berbeda) merupakan aktor intelektual dari perencanaan tindakan yang dilakukan, bersama-sama atau secara sendiri-sendiri dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu melakukan perbuatan merampas nyawa orang lain, yaitu korban yang bernama ABDUL MANAN yang rangkaian perbuatannya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:------------------------
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI, adalah rekan kerja korban Abdul manan di PT. Abadi Mekar yang menjabat sebagai Komisaris Utama.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI, menganggap korban telah menjual aset-aset perusahaan tanpa persetujuannya atau RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham)
- Bahwa pada tanggal 15 Mei 2008 pukul 15.00 WIB terjadi perselisihan antara TERDAKWA AHMAD HAMBALI dengan korban dalam forum RUPS yang disaksikan oleh DRS. SULAEMAN selaku Direktur PT. Abadi Mekar, HARYONO selaku Komisaris PT. Abadi Mekar. Bahwa atas terjadinya perselisihan yang terjadi selama ini membuat TERDAKWA AHMAD HAMBALI sangat kesal.
- Bahwa perasaan kesal dari TERDAKWA AHMAD HAMBALI menimbulkan suatu motif, untuk melaksanakan tindakan pidana tersebut di atas.
- Bahwa untuk merealisasikan kekesalannya tersebut pada hari Minggu tanggal 1 Juni 2008 pukul 17.00 WIB TERDAKWA AHMAD HAMBALI bermaksud mengadakan pertemuan dengan mantan pengawal pribadinya yaitu TERDAKWA POLTAK SINAGA bersama teman dari TERDAKWA POLTAK SINAGA yaitu TERDAKWA ADI KALALO, di Kafe Kongo. Di Dago Pakar.
- Bahwa di Kafe Kongo tersebut, TERDAKWA AHMAD HAMBALI sebagai tokoh intelektual, berkehendak dengan memberikan hadiah Rp. 3.000.000,- menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menagih aset-aset perusahaan pada korban, yang dianggap telah dijual oleh korban.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk membunuh koban apabila korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan tersebut.
- Bahwa setelah pertemuan itu, Karena anjuran TERDAKWA AHMAD HAMBALI, maka timbul pula niat TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menekan korban.
- Bahwa pada hari Rabu, 4 Juni 2008 Pukul sekitar 13.20 WIB, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO melakukan persiapan pelaksanaan dengan mendatangi kantor korban PT.Abadi Mekar yang bertempat di Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, dengan menggunakan identitas palsu, sebagai rekan bisnis korban yaitu TERDAKWA POLTAK SIANAGA menjadi wisnutama, TERDAKWA ADI KALALO menjadi Setiawan Putra, dimana pada saat kedatangan mereka disaksikan langsung oleh sekretaris korban Sarah Ramdani.
- Bahwa terjadi percekcokan antara TERDAKWA POLTAK SINAGA, TERDAKWA ADI KALALO dan korban, karena korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan.
- TERDAKWA POLTAK SINAGA selanjutnya memegangi korban dari belakang, dan TERDAKWA ADI KALALO memukul ke bagian-bagian vital tubuh korban yaitu wajah, leher, dan dada korban dengan leluasa.
- Bahwa korban berhasil melepaskan diri dari pegangan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan sempat memukul TERDAKWA ADI KALALO hingga terpojok, kemudian TERDAKWA POLTAK SINAGA menghampiri korban dan memukul bagian vital tubuh korban yaitu bagian belakang kepala korban dengan vas bunga, dan bagian depan kepala korban terbentur ujung meja.
- Bahwa setelah melaksanakan tindakan tersebut, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO pergi meninggalkan kantor korban yang disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani pada pukul 14.30 WIB.
- Bahwa pada saat Sarah Ramdani masuk ke ruangan KORBAN, Sarah Ramdani menemukan KORBAN dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada pukul 16.20 WIB.
Bahwa akibat luka dibagian-bagian vital yang dilakukan TERDAKWA Poltak Sinaga dan Adi Kalalo menyebabkan KORBAN/ABDUL MANAN meninggal dunia, sesuai dengan visum et repertum NO. 101/Tahun 2008 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dokter Konsultan H. Noorman Heryadi, dr.Sp.F. (K) pada rumah sakit Dr. Hasan Sadikirn, Bandung, yang menerangkan adanya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan laboratorium dengan kesimpulan bahwa korban meninggal dunia akibat luka robek menganga di dahi sepanjang 5cm, dalam 1 cm, terdapat hematoma (memar). Pada bagian kepala, memar pada bagian permukaan tempurung kepala bagian belakang kiri dengan ukuran 4x2cm. Kelopak mata warna pucat agak kebiruan. Luka memar di bagian pipi. Ada memar di bagian dada, dengan bercak berwarna hijau di bawah bahu kiri ukuran 5x5cm, dada samping kiri ukuran 4x2cm, di dada kanan sampai perut kanan atas ukuran 9x3½ cm dan tidak hilang dengan penekanan.
-----Perbuatan Poltak Sinaga Memenuhi Rumusan dan diancam Pidana Pasal 340 jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHPidana-----------------
SUBSIDAIR
---------- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO, pada hari Rabu, 4 Juni 2008, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Juni 2008, sekitar pukul 13.20 WIB bertempat di PT. Abadi Mekar, Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung, dimana TERDAKWA AHMAD HAMBALI merupakan aktor intelektual dari perbuatan yang dilakukan, Bersama-sama atau secara sendiri-sendiri dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian orang lain, yaitu korban yang bernama Abdul Manan yang rangkaian perbuatannya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:------------------------
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI , Adalah rekan Kerja Korban/Abdul Manan di PT. Abadi Mekar yang menjabat sebagai Komisaris Utama.
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI , menganggap korban telah menjual aset-aset perusahaan tanpa persetujuannya atau RUPS ( Rapat Umum Pemegang Saham ).
- Bahwa pada tanggal 15 Mei 2008 pukul 15.00 WIB terjadi perselisihan antara TERDAKWA AHMAD HAMBALI dan korban dalam forum RUPS yang disaksikan oleh DRS. SULAEMAN selaku Direktur PT. Abadi Mekar, HARYONO selaku Komisaris PT. Abadi Mekar dan CECEP SUPRIYATNA selaku Office Boy, yang pada intinya meminta agar korban segera mengembalikan aset perusahaan dan apabila korban menolak, maka korban akan diberi pelajaran.
- Bahwa atas terjadinya perselisihan yang terjadi selama ini membuat TERDAKWA AHMAD HAMBALI sangat kesal.
- Bahwa untuk merealisasikan kekesalannya tersebut, pada hari Jumat tanggal 16 Mei 2008 pukul 17.00 WIB TERDAKWA AHMAD HAMBALI mengadakan pertemuan dengan mantan pengawal pribadinya yaitu TERDAKWA POLTAK SINAGA bersama teman dari TERDAKWA POLTAK SINAGA yaitu TERDAKWA ADI KALALO, di Kafe Kongo di Dago Pakar.
- Bahwa di Kafe Kongo tersebut, TERDAKWA AHMAD HAMBALI , sebagai tokoh intelektual, berkehendak memberikan hadiah Rp. 3.000.000, menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA , dan TERDAKWA ADI KALALO , untuk menagih aset-aset perusahaan, yang dianggap telah dijual oleh korban
- Bahwa TERDAKWA AHMAD HAMBALI menganjurkan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menganiaya korban, apabila korban menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan tersebut.
- Bahwa setelah pertemuan itu, karena anjuran TERDAKWA AHMAD HAMBALI, maka timbul pula niat TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO untuk menganiaya korban
- Bahwa pada hari Rabu, 4 Juni 2008 Pukul 13.20 WIB, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO mendatangi kantor korban PT.Abadi Mekar yang bertempat di Jl. Merdeka No.7, Kota Bandung, dengan menyamar sebagai rekan bisnis korban dimana TERDAKWA POLTAK SINAGA menjadi Wisnutama, TERDAKWA ADI KALALO menjadi Setiawan Putra, yang diketahui atau disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani.
- Bahwa terjadi percekcokan antara TERDAKWA POLTAK SINAGA , TERDAKWA ADI KALALO dan korban karena korban dianggap menolak untuk membayar atau mengembalikan aset-aset perusahaan.
- Bahwa untuk merealisasikan niat dan rencananya untuk menganiaya korban, TERDAKWA POLTAK SINAGA memegang korban dari belakang, dan TERDAKWA ADI KALALO dengan sadar memukul korban di bagian wajah, leher, dan dada korban dengan leluasa.
- Bahwa korban berhasil melepaskan diri dari pegangan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan sempat memukul TERDAKWA ADI KALALO hingga terpojok.
- Bahwa TERDAKWA POLTAK SINAGA menghampiri korban dan memukul korban dibagian belakang kepala korban dengan vas bunga, dan bagian depan kepala korban terbentur ujung meja.
- Bahwa setelah melaksanakan niatnya dan rencana tersebut, TERDAKWA POLTAK SINAGA dan TERDAKWA ADI KALALO pergi meninggalkan kantor korban yang disaksikan oleh sekretaris korban Sarah Ramdani pada pukul 14.30.
- Bahwa pada saat Sarah Ramdani masuk ke ruangan KORBAN, Sarah Ramdani menemukan KORBAN dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada pukul 16.20 WIB.
Bahwa akibat pukulan dan luka yang diilakukan TERDAKWA POLTAK SINAGA dan ADI KALALO menyebabkan KORBAN/ABDUL MANAN meninggal dunia, sesuai dengan visum et repertum NO. 101/Tahun 2008 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dokter Konsultan H. Noorman Heryadi, dr,Sp.F. (K)Pada rumah sakit Dr. Hasan Sadikirn, Bandung, yang menerangkan adanya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan laboratorium dengan kesimpulan bahwa KORBAN/Abdul Manan meninggal dunia akibat luka robek menganga di dahi sepanjang 5cm, dalam 1 cm, terdapat hematoma (memar). Pada bagian kepala terdapat memar pada bagian permukaan tempurung kepala bagian belakang kiri dengan ukuran 4x2cm. Kelopak mata warna pucat agak kebiruan, luka memar di bagian pipi. Ada memar di bagian dada, dengan bercak berwarna hijau di bawah bahu kiri ukuran 5x5cm, dada samping kiri ukuran 4x2cm, di dada kanan sampai perut kanan atas ukuran 9x3½ cm dan tidak hilang dengan penekanan.
----- Perbuatan Poltak Sinaga Memenuhi Rumusan dan diancam Pidana Pasal 353 jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
BANDUNG, 16 JULI 2008
Jaksa Penuntut Umum
Rudi H., SH.,MH
JAKSA UTAMA MADYA NIP. 230014140
Contoh BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
Sebagian besar orang, mungkin belum pernah melihat BERITA Acara Pemeriksaan, atau yang lazim disebut BAP. Ini adalah salah satu contoh BAP.
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
Pada hari ini Kamis tanggal 5 Juni Tahun 2008 waktu jam 09.00 WIB, saya----------
-------------------------------------- RAMDHANI TRI ----------------------------------------------
Pangkat BRIPTU/ NRP 65090137selaku penyidik pada kantor kepolisian tersebut diatas berdasarkan surat tugas No. pol. : SP. Gas/ 517/ VI/ 2008/ Reskrim tanggal 5 Juni 2008 telah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan yang belum saya kenal mengaku bernama :-----------------------------------------------------------------------------
-------------------------- SARAH RAMADHANI binti BAROKAH -----------------------------
Umur 24 Tahun, dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1984, Agama Islam, Pekerjaan Sekertaris di PT. Abadi Mekar, Suku Sunda, Bangsa Indonesia. Pendidikan terakhir S1 Sarjana Ekonomi jurusan Management, Alamat sekarang Jln. Aceh No. 2 Bandung --------------------------------------------------------
Ia diperiksa untuk dimintai keterangan selaku saksi pelapor dalam perkara Tindak Pidana Pembunuhan berencana atau Pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 ayat atau 338 KUHPidana, sehubungan dengan adanya laporan polisi No. Pol LP/778/VI/2008/SPK tanggal 5 Juni 2008 ------------------------------------------------------------------------------------------
Atas pertanyaan pemeriksa yang diperksa menerangkan secara Tanya jawab sebagai berikut dibawah ini : ----------------------------------------------------------------------------------
PERTANYAAN JAWABAN
1. Apakah saksi sekarang dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersediakah anda sekarang untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan pernyataan dengan sebenar-benarnya.?
--------- 01. Ya, sekarang saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta saya bersedia untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan sebenar-benarnya.
2. Mengertikah saudara sekarang mengapa saudara sekarang dimintai keterangan oleh polisi. Kalau mengerti dalam perkara apa? Coba Jelaskan ?
--------- 02. Ya, Saya mengerti sehingga diperiksa sekarang ini sehubungan sebagai saksi pelapor terkait dengan kematian Abdul Manan di PT. Abadi Mekar tepatnya di ruang kerja korban.
3. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ?
--------- 03. Pada tanggal 4 Juni 2008 sekitar pukul 14.00 PT. Abadi Mekar Jl Merdeka No. 7 tepatnya di ruang kerja korban.
4. Apakah saudara mengetahui siapakah pelaku penganiayaan tersebut, coba saudara jelaskan?
--------- 04. Tidak tahu, tapi yang saya tahu pada hari itu ada dua orang tamu terakhir yang bertemu dengan korban yaitu 1. Pa wisnutama 2. Pa Setiawan Putra dari PT. Mekar Jaya , tamu itu datang sekitar pukul 13.20 dan seingat saya mereka keluar dari ruangan korban pada pukul 14.30 WIB, dan satu hal saya ingat bahwa sebelumnya ia telah membuat janji sekitar tanggal 27 Mei 2008 via telepon
5. Apakah saudara kenal dengan kedua tamu itu dan apakah saudara tahu maksud dari kedatangan mereka, jelaskan?
--------- 05. Tidak saya tidak kenal dengan mereka, dan seingat saya mereka datang untuk membicarakan suatu proyek dengan korban selaku rekanan bisnisnya, namun saya juga tridak mengetahui persis karena saya tidak berada didalam pada waktu mereka masuk ke ruang korban saya hanya mengantarkan mereka lalu kembali ke ruangan saya.
6. Bisa saudari jelaskan cirri-ciri dari kedua tamu itu?
--------- 06. ke dua orang yang datang pada waktu itu memiliki ciri-ciri fisik yang satu orangnya berkulit gelap, berbadan tinggi besar sekitar 180 cm dan wajah penuh dengan cambang dan janggut dan model rambut botak dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dan kemeja merah, yang satunya lagi tingginya sekitar 170 cm berkulit putih rambut model pendek dan lurus, dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dengan kemeja biru tua dan itu semua juga dapat terlihat di rekaman kamera cctv yang berada di lift dan yang berada di depan pintu masuk ruangan korban.
7. Adakah orang lain setelah mereka yang masuk ke ruangan korban?
--------- 07. Ada, yaitu Cecep Supriatna dia OB di kantor itu dan memang sudah kebiasaannya pada pukul 08.00 pagi ia mengantar kopi untuk korban dan pukul 15.00 ia mengantarkan teh hangat untuk korban.
8. Berapa lama saudara Cecep berada di ruangan itu?
--------- 08. Ya di bawah lima menit seingat saya
9. Apa reaksi saudara Cecep ketika keluar dari ruangan korban?
--------- 09. Biasa saja dan tidak ada yang aneh pada waktu itu
10. Lalu apakah betul saudari yang mengetahui pertama korban telah meninggal, coba jelaskan?
--------- 10. Ya, ketika itu pukul 16.20 ketika saya hendak pulang saya curiga kenapa korban tidak terlihat keluar dari ruangannya padahal kebiasaanya ia selalu pulang ketika telah pukul 04.00, sehingga saya memberanikan diri untuk masuk Lalu ketika saya masuk ke ruangan korban, terdengar lantunan melodi klasik kesukaan korban ketika sedang bersantai( suatu kebiasaannya) dan melihat posisi korban sedang terduduk membelakangi pintu masuk seolah seperti sedang tertidur, dengan terpaksa ia hendak membangunkan korban yang ia kira sedang tertidur, namun ketika didekati saya terperanjat kaget ketika melihat muka korban penuh dengan lebam dan kondisi baju yang tidak rapih seolah telah dipukuli dan ada luka di dahinya dan noda darah di bagian kerah baju bagian leher belakang. Lantas saya langsung menghubungi petugas keamanan.
11. Sepengetahuan saudara apakah korban mempunyai musuh atau sedang mempunyai masalah dengan pihak lain?
--------- 11. Setahu saya korban pernah terlihat berselisih dengan para pemegang saham lainnya ketika sedang diadakan RUPS pada tanggal 8 Mei 2008 hari Kamis di ruang rapat, yang dilatarbelakangi korban secara sepihak telah menjual asset-aset perusahaan PT. Abadi Mekar, kepada Rahardjo Slamet dan itu diketahui oleh Sulaeman dan ia memberitahukan hal itu pada pemegang saham lainnya yaitu pa haryono dan pa ahmad hambali.
12. Apakah ada saksi lain yang dapat dimintai keterangan terkait meninggalnya Abdul Manan?
--------- 12. Ada, yaitu: Asih Rahmayanti, Muhamad Alvian, Joko Pryanto, Dede Muharam, Cecep supriyatna.
13. Apakah masih ada keterangan lain yang akan saudara sampaikan selain keterangan diatas?
--------- 13. Semua keterangan yang saya sampaikan cukup
14. Apakah semua keterangan yang sudah saudara sampaikan benar, tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan?
--------- 14. Semua keterangan yang sudah saya sampaikan benar dan tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah selesai Berita Acara Pemeriksaan dibuat, kemudian dibacakan kembali kepada yang diperiksa dalam bahasa yang mudah dimengerti olehnya selanjutnya yang diperiksa menyatakan setuju dan membenarkan semua keterangan yang diberikan, untuk menguatkannya membubuhkan tanda tangannya dibawah ini.
Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya mengingat atas kekuatan sumpah jabtan yang sekarang ini kemudian ditutup dan ditandatangani di Bandung, pada tanggal tersebut diatas.
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”
(lambang POLRI)
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
SAKSI PELAPOR
SAKSI PELAPOR
Pada hari ini Kamis tanggal 5 Juni Tahun 2008 waktu jam 09.00 WIB, saya----------
-------------------------------------- RAMDHANI TRI ----------------------------------------------
Pangkat BRIPTU/ NRP 65090137selaku penyidik pada kantor kepolisian tersebut diatas berdasarkan surat tugas No. pol. : SP. Gas/ 517/ VI/ 2008/ Reskrim tanggal 5 Juni 2008 telah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan yang belum saya kenal mengaku bernama :-----------------------------------------------------------------------------
-------------------------- SARAH RAMADHANI binti BAROKAH -----------------------------
Umur 24 Tahun, dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1984, Agama Islam, Pekerjaan Sekertaris di PT. Abadi Mekar, Suku Sunda, Bangsa Indonesia. Pendidikan terakhir S1 Sarjana Ekonomi jurusan Management, Alamat sekarang Jln. Aceh No. 2 Bandung --------------------------------------------------------
Ia diperiksa untuk dimintai keterangan selaku saksi pelapor dalam perkara Tindak Pidana Pembunuhan berencana atau Pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 ayat atau 338 KUHPidana, sehubungan dengan adanya laporan polisi No. Pol LP/778/VI/2008/SPK tanggal 5 Juni 2008 ------------------------------------------------------------------------------------------
Atas pertanyaan pemeriksa yang diperksa menerangkan secara Tanya jawab sebagai berikut dibawah ini : ----------------------------------------------------------------------------------
PERTANYAAN JAWABAN
1. Apakah saksi sekarang dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersediakah anda sekarang untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan pernyataan dengan sebenar-benarnya.?
--------- 01. Ya, sekarang saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta saya bersedia untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan sebenar-benarnya.
2. Mengertikah saudara sekarang mengapa saudara sekarang dimintai keterangan oleh polisi. Kalau mengerti dalam perkara apa? Coba Jelaskan ?
--------- 02. Ya, Saya mengerti sehingga diperiksa sekarang ini sehubungan sebagai saksi pelapor terkait dengan kematian Abdul Manan di PT. Abadi Mekar tepatnya di ruang kerja korban.
3. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ?
--------- 03. Pada tanggal 4 Juni 2008 sekitar pukul 14.00 PT. Abadi Mekar Jl Merdeka No. 7 tepatnya di ruang kerja korban.
4. Apakah saudara mengetahui siapakah pelaku penganiayaan tersebut, coba saudara jelaskan?
--------- 04. Tidak tahu, tapi yang saya tahu pada hari itu ada dua orang tamu terakhir yang bertemu dengan korban yaitu 1. Pa wisnutama 2. Pa Setiawan Putra dari PT. Mekar Jaya , tamu itu datang sekitar pukul 13.20 dan seingat saya mereka keluar dari ruangan korban pada pukul 14.30 WIB, dan satu hal saya ingat bahwa sebelumnya ia telah membuat janji sekitar tanggal 27 Mei 2008 via telepon
5. Apakah saudara kenal dengan kedua tamu itu dan apakah saudara tahu maksud dari kedatangan mereka, jelaskan?
--------- 05. Tidak saya tidak kenal dengan mereka, dan seingat saya mereka datang untuk membicarakan suatu proyek dengan korban selaku rekanan bisnisnya, namun saya juga tridak mengetahui persis karena saya tidak berada didalam pada waktu mereka masuk ke ruang korban saya hanya mengantarkan mereka lalu kembali ke ruangan saya.
6. Bisa saudari jelaskan cirri-ciri dari kedua tamu itu?
--------- 06. ke dua orang yang datang pada waktu itu memiliki ciri-ciri fisik yang satu orangnya berkulit gelap, berbadan tinggi besar sekitar 180 cm dan wajah penuh dengan cambang dan janggut dan model rambut botak dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dan kemeja merah, yang satunya lagi tingginya sekitar 170 cm berkulit putih rambut model pendek dan lurus, dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dengan kemeja biru tua dan itu semua juga dapat terlihat di rekaman kamera cctv yang berada di lift dan yang berada di depan pintu masuk ruangan korban.
7. Adakah orang lain setelah mereka yang masuk ke ruangan korban?
--------- 07. Ada, yaitu Cecep Supriatna dia OB di kantor itu dan memang sudah kebiasaannya pada pukul 08.00 pagi ia mengantar kopi untuk korban dan pukul 15.00 ia mengantarkan teh hangat untuk korban.
8. Berapa lama saudara Cecep berada di ruangan itu?
--------- 08. Ya di bawah lima menit seingat saya
9. Apa reaksi saudara Cecep ketika keluar dari ruangan korban?
--------- 09. Biasa saja dan tidak ada yang aneh pada waktu itu
10. Lalu apakah betul saudari yang mengetahui pertama korban telah meninggal, coba jelaskan?
--------- 10. Ya, ketika itu pukul 16.20 ketika saya hendak pulang saya curiga kenapa korban tidak terlihat keluar dari ruangannya padahal kebiasaanya ia selalu pulang ketika telah pukul 04.00, sehingga saya memberanikan diri untuk masuk Lalu ketika saya masuk ke ruangan korban, terdengar lantunan melodi klasik kesukaan korban ketika sedang bersantai( suatu kebiasaannya) dan melihat posisi korban sedang terduduk membelakangi pintu masuk seolah seperti sedang tertidur, dengan terpaksa ia hendak membangunkan korban yang ia kira sedang tertidur, namun ketika didekati saya terperanjat kaget ketika melihat muka korban penuh dengan lebam dan kondisi baju yang tidak rapih seolah telah dipukuli dan ada luka di dahinya dan noda darah di bagian kerah baju bagian leher belakang. Lantas saya langsung menghubungi petugas keamanan.
11. Sepengetahuan saudara apakah korban mempunyai musuh atau sedang mempunyai masalah dengan pihak lain?
--------- 11. Setahu saya korban pernah terlihat berselisih dengan para pemegang saham lainnya ketika sedang diadakan RUPS pada tanggal 8 Mei 2008 hari Kamis di ruang rapat, yang dilatarbelakangi korban secara sepihak telah menjual asset-aset perusahaan PT. Abadi Mekar, kepada Rahardjo Slamet dan itu diketahui oleh Sulaeman dan ia memberitahukan hal itu pada pemegang saham lainnya yaitu pa haryono dan pa ahmad hambali.
12. Apakah ada saksi lain yang dapat dimintai keterangan terkait meninggalnya Abdul Manan?
--------- 12. Ada, yaitu: Asih Rahmayanti, Muhamad Alvian, Joko Pryanto, Dede Muharam, Cecep supriyatna.
13. Apakah masih ada keterangan lain yang akan saudara sampaikan selain keterangan diatas?
--------- 13. Semua keterangan yang saya sampaikan cukup
14. Apakah semua keterangan yang sudah saudara sampaikan benar, tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan?
--------- 14. Semua keterangan yang sudah saya sampaikan benar dan tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah selesai Berita Acara Pemeriksaan dibuat, kemudian dibacakan kembali kepada yang diperiksa dalam bahasa yang mudah dimengerti olehnya selanjutnya yang diperiksa menyatakan setuju dan membenarkan semua keterangan yang diberikan, untuk menguatkannya membubuhkan tanda tangannya dibawah ini.
Tanda tangan yang diperiksa,
SARAH RAMADHANI
Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya mengingat atas kekuatan sumpah jabtan yang sekarang ini kemudian ditutup dan ditandatangani di Bandung, pada tanggal tersebut diatas.
Penyidik Pembantu Pemeriksa
RAMDHANI TRI
Anak Jalanan Memerlukan Perlindungan Negara
Penyebab anak jalanan memerlukan perlindungan oleh negara
Penyebab masalah anak jalanan yang memerlukan perlindungan dari perlakuan salah pada umumnya dapat dibagi ke dalam :
1. Penyebab makro
Penyebab yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan sosio-ekonomi yang kurang tepat menyebabkan adanya kesenjangan pembangunann antar wilayah, antar sektor, antar kelompok masyarakat dsb. dengan akibat terjadi kesenjangan kesejahteraan dan kekayaan antar wilayah dan kelompok masyarakat serta terjadi kemiskinan struktural, rendahnya kebijakan peduli anak dari sektor di tiap tingkatan, tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan-undangan tentang anak, penegakan hukum, pengawasan dan bimbingan yang berkaitan dengan pelaksanaan program, dan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak yang lemah.
2. Penyebab meso
Penyebab yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan sosio-budaya masyarakat seperti belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender pada masyarakat patrilineal dan feodal, nilai sosio-budaya perkawinan dini, anak dipandang sebagai aset orangtua untuk peningkatan ekonomi keluarga dsb.
3. Penyebab mikro
Penyebab yang berkaitan dengan diri anak dan keluarganya seperti anak lari dari keluarga, anak ingin berpetualang, gaya hidup konsumerisme, kesulitan berhubungan dengan keluarga dan tetangga, rendahnya pendidikan dan keterampilan, degradasi moral, buta huruf, disfungsi keluarga, penelantaran, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar anak, ditolak orang tua, salah pengasuhan, kekerasan di rumah, terpisah dari orang tua dan keterbatasan kemampuan orang tua merawat anak. Hal ini yang menyebabkan pemerintah harus turun tangan dalam menangani persoalan yang membelit seputar anak jalanan di Indonesia.
Faktor-faktor pengaruh merebaknya persoalan anak jalanan
a. Politik
Dari sudut pandang politis kadangkala persoalan anak masih dianggap ringan dan sering dibicarakan secara musiman. Di kalangan politisi persoalan anak tidak masuk agenda politik barangkali karena dianggap anak tidak dapat dijadikan pendukung politik dan bukan merupakan isu politik yang dapat dijual pada saat kampanye Pemilu.
b. Ekonomi
Krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Indonesia selain meningkatkan permasalahan anak juga telah menurunkan kemampuan pemerintah dalam penyediaan anggaran pembangunan untuk pengembangan sumberdaya manusia yang di dalamnya terkait permasalahan anak yaitu pendidikan dan kesehatan. Pemerintah selama periode 1992-2000 mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan rata-rata hanya 6 persen dan kesehatan 3,9 persen, berapa yang teralokasi untuk perlindungan anak belum diketahui secara pasti .
c. Hukum
Peraturan perundang-undangan tentang anak di Indonesia sebenarnya telah banyak yang di buat oleh pemerintah bersama legislatif. Melalui ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990, merupakan titik tolak pengakuan hak-hak anak mengingat implikasi dari ratifikasi tersebut, maka Indonesia berkewajiban memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak tersebut, melalui berbagai kebijakan nasional dan peraturan perundangan. Namun secara faktual berbagai peraturan perundangan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya karena banyak Undang-undang tersebut belum mempunyai Peraturan Pemerintah untuk menjalankannya. Di samping itu, masih ada Undang-undang yang perlu diharmonisasi dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hak-hak Anak dan instrumen hukum internasional lainnya.
d. Sosio-budaya
Faktor sosio-budaya seperti perkawinan dini usia (di bawah 16 tahun) masih cukup dominan baik di daerah rural maupun urban di Indonesia, meskipun usia perkawinan diantara anak perempuan telah meningkat pada periode terakhir ini. Hal ini, mencerminkan karena akses sekolah dan pelayanan kesehatan yang lebih baik di daerah urban, adanya kesempatan/peluang kerja dan kurangnya tekanan nilai sosio-budaya untuk segera kawin setelah haid pertama. Pekawinan dini usia, jelas mempengaruhi hak anak untuk memperoleh pendidikan, perkembangan kematangan kepribadian anak dan meningkatnya peceraian yang mendorong anak terjerumus kepada perdagangan anak dan eksploitasi seksual komersial anak/pelacuran yang beresiko tinggi tertular PMS/HIV/AIDS. Selai itu, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat yang masih patrineal dan feodal turut menentukan peranan dan kedudukan anak perempuan yang tidak setara dan adil dengan anak laki-laki terutama dalam keluarga miskin.
e. Sektor struktural
Kultur birokrasi di Indonesia masih belum berpihak kepada anak, bahkan permasalahan anak masih dilihat secara sektoral belum dilihat secara menyeluruh dan terpadu. Kebijakan peduli anak atau menjadikan kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai arus utama pembangunan sektor dan daerah masih belum seperti yang diharapkan. Masih ada persepsi yang salah dari sebagian sektor dan pemerintah daerah bahwa pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak masih dianggap konsumtif dan tanpa memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah.
Penyebab masalah anak jalanan yang memerlukan perlindungan dari perlakuan salah pada umumnya dapat dibagi ke dalam :
1. Penyebab makro
Penyebab yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan sosio-ekonomi yang kurang tepat menyebabkan adanya kesenjangan pembangunann antar wilayah, antar sektor, antar kelompok masyarakat dsb. dengan akibat terjadi kesenjangan kesejahteraan dan kekayaan antar wilayah dan kelompok masyarakat serta terjadi kemiskinan struktural, rendahnya kebijakan peduli anak dari sektor di tiap tingkatan, tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan-undangan tentang anak, penegakan hukum, pengawasan dan bimbingan yang berkaitan dengan pelaksanaan program, dan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak yang lemah.
2. Penyebab meso
Penyebab yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan sosio-budaya masyarakat seperti belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender pada masyarakat patrilineal dan feodal, nilai sosio-budaya perkawinan dini, anak dipandang sebagai aset orangtua untuk peningkatan ekonomi keluarga dsb.
3. Penyebab mikro
Penyebab yang berkaitan dengan diri anak dan keluarganya seperti anak lari dari keluarga, anak ingin berpetualang, gaya hidup konsumerisme, kesulitan berhubungan dengan keluarga dan tetangga, rendahnya pendidikan dan keterampilan, degradasi moral, buta huruf, disfungsi keluarga, penelantaran, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar anak, ditolak orang tua, salah pengasuhan, kekerasan di rumah, terpisah dari orang tua dan keterbatasan kemampuan orang tua merawat anak. Hal ini yang menyebabkan pemerintah harus turun tangan dalam menangani persoalan yang membelit seputar anak jalanan di Indonesia.
Faktor-faktor pengaruh merebaknya persoalan anak jalanan
a. Politik
Dari sudut pandang politis kadangkala persoalan anak masih dianggap ringan dan sering dibicarakan secara musiman. Di kalangan politisi persoalan anak tidak masuk agenda politik barangkali karena dianggap anak tidak dapat dijadikan pendukung politik dan bukan merupakan isu politik yang dapat dijual pada saat kampanye Pemilu.
b. Ekonomi
Krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Indonesia selain meningkatkan permasalahan anak juga telah menurunkan kemampuan pemerintah dalam penyediaan anggaran pembangunan untuk pengembangan sumberdaya manusia yang di dalamnya terkait permasalahan anak yaitu pendidikan dan kesehatan. Pemerintah selama periode 1992-2000 mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan rata-rata hanya 6 persen dan kesehatan 3,9 persen, berapa yang teralokasi untuk perlindungan anak belum diketahui secara pasti .
c. Hukum
Peraturan perundang-undangan tentang anak di Indonesia sebenarnya telah banyak yang di buat oleh pemerintah bersama legislatif. Melalui ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990, merupakan titik tolak pengakuan hak-hak anak mengingat implikasi dari ratifikasi tersebut, maka Indonesia berkewajiban memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak tersebut, melalui berbagai kebijakan nasional dan peraturan perundangan. Namun secara faktual berbagai peraturan perundangan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya karena banyak Undang-undang tersebut belum mempunyai Peraturan Pemerintah untuk menjalankannya. Di samping itu, masih ada Undang-undang yang perlu diharmonisasi dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hak-hak Anak dan instrumen hukum internasional lainnya.
d. Sosio-budaya
Faktor sosio-budaya seperti perkawinan dini usia (di bawah 16 tahun) masih cukup dominan baik di daerah rural maupun urban di Indonesia, meskipun usia perkawinan diantara anak perempuan telah meningkat pada periode terakhir ini. Hal ini, mencerminkan karena akses sekolah dan pelayanan kesehatan yang lebih baik di daerah urban, adanya kesempatan/peluang kerja dan kurangnya tekanan nilai sosio-budaya untuk segera kawin setelah haid pertama. Pekawinan dini usia, jelas mempengaruhi hak anak untuk memperoleh pendidikan, perkembangan kematangan kepribadian anak dan meningkatnya peceraian yang mendorong anak terjerumus kepada perdagangan anak dan eksploitasi seksual komersial anak/pelacuran yang beresiko tinggi tertular PMS/HIV/AIDS. Selai itu, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat yang masih patrineal dan feodal turut menentukan peranan dan kedudukan anak perempuan yang tidak setara dan adil dengan anak laki-laki terutama dalam keluarga miskin.
e. Sektor struktural
Kultur birokrasi di Indonesia masih belum berpihak kepada anak, bahkan permasalahan anak masih dilihat secara sektoral belum dilihat secara menyeluruh dan terpadu. Kebijakan peduli anak atau menjadikan kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai arus utama pembangunan sektor dan daerah masih belum seperti yang diharapkan. Masih ada persepsi yang salah dari sebagian sektor dan pemerintah daerah bahwa pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak masih dianggap konsumtif dan tanpa memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah.
Larangan Eksploitasi Anak
Anak-anak, yang dalam rumusan KHA adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, telah menjadi objek bagi “orang dewasa”. Di Indonesia, mereka telah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi, seksual dan “harga diri”. Kemiskinan, selama ini dijadikan alasan kuat mengapa anak-anak jalanan tersebut akhirnya secara sadar atau tidak dieksploitir oleh sekelompok orang atau lembaga. Selain itu, kehidupan rumah tangga orang tua yang tidak harmonis juga memicu anak-anak untuk mencari sesuatu sebagai tempat bergantung dalam proses pelarian mereka.
Banyak anak-anak jalanan dijadikan komoditas seks tanpa menghiraukan dampak luas yang akan ditimbulkannya. Inilah yang disebut sebagai eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Sebuah konsep yang digunakan untuk merujuk pada penggunaan seksualitas anak oleh orang dewasa dengan mempertukarkannya dengan imbalan, baik berupa uang tunai atau in natura. Imbalan dapat diterimakan langsung kepada anak ataupun kepada orang lain yang mendapatkan keuntungan komersial dari seksualitas anak.
Ada 3 bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak jalanan. Yakni:
(1) pelacuran anak,
(2) perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan
(3) pornografi anak.
Eksploitasi seksual komersial dibedakan dengan eksploitasi seksual nonkomersial, yang biasa disebut dengan berbagai istilah seperti pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual, dll. Dalam eksploitasi seksual komersial, eksploitasi seksualitas anak sekaligus dibarengi dengan eksploitasi ekonomi.
KHA dalam pasal 34 (a)-nya telah memberikan harapan baru bagi perlindungan anak-anak korban eksploiatsi seksual ini. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa, Negara peserta berupaya melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual. Untuk tujuan ini, negara peserta pada khususnya akan mengambil semua langkah di tingkat nasionalk, bilateral dan multilateral untuk mencegah:
a. Penjerumusan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang terlarang;
b. Penggunaan eksploitatif anak dalam melaksanakan pekerjaan di jalanan;
c. Penggunaan eksploitatif anak dalam penunjukan dan bahan-bahan pornografis.
Eksploitasi anak dengan sengaja membiarkan anak-anak untuk bekerja di jalanan untuk tujuan ekonomi adalah satu bentuk eksploitasi yang saat ini mewabah dalam lalu lintas hubungan manusia di Indonesia. Banyak kasus yang terjadi, selain kasus anak jermal yang disebutkan di atas, ditemukan juga berbagai aktifitas perdagangan atau proses memindahkan anak dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial yakni, menjadi buruh anak di perkebunan, pembantu rumah tangga dan menjadi peminta-minta di banyak persimpangan jalan (lampu merah). Kegiatan ini sangat berbahaya sekali bagi pertumbuhan dan keselamatan anak itu sendiri, tatkala sejak awal, diluar batas kesadarannya,anak-anak digiring dalam dunia kerja yang belum sanggup di pikul. Anak-anak, selanjutnya akan terbiasa dengan uang, mulai mengkonsumsi rokok (bagi anak laki-laki), terlibat dalam hubungan seksual yang menyimpang, dan pada satu titik tertencu cenderung untuk melakukan kejahatan.
Anak-anak yang bekerja di jalanan juga sangat rentan dengan kecelakaan dan kekerasan. Banyak sekali kasus sejumlah anak-anak yang harus mati dalam usia muda.
Anak-anak yang dieksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan ekonomis jelas akan kehilangan waktu belajar, bermain dan berfantasi, yang sebenarnya menjadi milik mereka. Waktu luang mereka telah dirampas pada usia yang sangat dini. Orientasi hidup mereka telah dibentuk sejak kecil untuk mengartikan hubungan kemanusian sebatas hubungan kontrak antara pihak yang membutuhkan dan diri mereka sendiri. Tangan-tangan kecil mereka telah dibiasakan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan yang selayaknya dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 32 KHA telah memberi beban kepada negara untuk melindungi anak-anak ini dengan menyebutkan: “ negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbhahaya atau mengganggu pendidikan, atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spritual , moral atau sosial anak.
Satu contoh eksploitasi yang selama ini juga tidak banyak diungkit ke permukaan adalah perlakuan kekerasan yang dialami oleh anak-anak yang diduga telah melakukan kejahatan (anak yang berkonflik dengan hukum). Para pelaku cilik kejahatan ini acap kali mengalami eksploitasi dalam bentuk penyiksaan, perlakuan ataupun hukuman yang tidak setimpal (perampasan kebebsan/kemerdekaan secara semena-mena) oleh para polisi, jaksa, hakim dan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam lembaga pemasyarakatan. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini, diperlakukan secara berbeda dengan pelaku kejahatan yang dewasa. Namun dalam prakteknya, anak-anak ini tidak mendapatkan hal tersebut. Di tingkat kepolisian mereka disatukan dengan tersangka tindak pidana dewasa lainnya. Di tingkat kejaksaaan, sering ditahan untuk waktu yang melebihi dari batas waktu. Dan di dalam proses peradilan selalu menerima vonis penjara dari hakim, seolah-olah hanya itulah ancaman hukuman yang tersedia bagi mereka. Padahal pilihan hukuman penjara dalam KHA dan aturan hukum internasional lainnya haruslah menjadi pilihan terakhir bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada mereka. Masih ada pilihan lain, seperti dikembalikan kepada orang tua, mendapatkan pengasuhan dari satu lembaga sosial yang ditunjuk negara atau menjadi anak negara.
Hambatan-hambatan yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak karena tidak ada kerjasama antara pihak-pihak dari instansi terkait, yaitu Pemerintah Daerah, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pembinaan, pemeliharaan dan perlindungan hak-hak anak, ditambah Iagi ketidakpedulian masyarakat sebagai orang tua asuh, dan kurangnya pengetahuan orang tua terhadap pendidikan dan kebutuhan hak-hak anak. Kemudian Pemerintah Daerah pun tidak melakukan sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat luas, dan kurangnya kesadaran pihak eksekutif dan legislatif tentang masalah anak terlantar dan anak jalanan. Sebab-sebab terjadinya hambatan karena tidak ada peraturan dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang khusus mengatur tentang perlindungan anak terlantar dan anak jalanan dalam peraturan daerah.
Peran Pemerintah dalam mewujudkan peraturan dan undang-undang perlindungan anak, baru pada tahap memberikan bantuan dana untuk anak-anak terlantar di panti asuhan, sedangkan untuk anak jalanan baru dibuat rumah singgah dan ditambah biaya-biaya buku bacaan sekolah bagi anak yang tidak mampu dengan cara mendatangi ke sekolah-sekolah. Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota supaya membuat secara khusus peraturan daerah mengenai anak terlantar dan anak jalanan. Pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat diharapkan dapat membangun panti asuhan dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga anak-anak yang dilatih ketrampilan di panti tersebut, kelak dapat merubah taraf hidupnya ke arah yang lebih baik. Kemudian &sarankan juga kepada orang tua atau wali supaya dapat melakukan hadhanah (mengasuh anak) dengan penuh tanggung jawab supaya perhatian, kasih sayang dapat terbentuk dalam jiwa anak, sehingga anak tidak terlantar dan tidak turun ke jalan, serta dapat terpenuhi hak-hak anak secara seimbang.
Banyak anak-anak jalanan dijadikan komoditas seks tanpa menghiraukan dampak luas yang akan ditimbulkannya. Inilah yang disebut sebagai eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Sebuah konsep yang digunakan untuk merujuk pada penggunaan seksualitas anak oleh orang dewasa dengan mempertukarkannya dengan imbalan, baik berupa uang tunai atau in natura. Imbalan dapat diterimakan langsung kepada anak ataupun kepada orang lain yang mendapatkan keuntungan komersial dari seksualitas anak.
Ada 3 bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak jalanan. Yakni:
(1) pelacuran anak,
(2) perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan
(3) pornografi anak.
Eksploitasi seksual komersial dibedakan dengan eksploitasi seksual nonkomersial, yang biasa disebut dengan berbagai istilah seperti pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual, dll. Dalam eksploitasi seksual komersial, eksploitasi seksualitas anak sekaligus dibarengi dengan eksploitasi ekonomi.
KHA dalam pasal 34 (a)-nya telah memberikan harapan baru bagi perlindungan anak-anak korban eksploiatsi seksual ini. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa, Negara peserta berupaya melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual. Untuk tujuan ini, negara peserta pada khususnya akan mengambil semua langkah di tingkat nasionalk, bilateral dan multilateral untuk mencegah:
a. Penjerumusan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang terlarang;
b. Penggunaan eksploitatif anak dalam melaksanakan pekerjaan di jalanan;
c. Penggunaan eksploitatif anak dalam penunjukan dan bahan-bahan pornografis.
Eksploitasi anak dengan sengaja membiarkan anak-anak untuk bekerja di jalanan untuk tujuan ekonomi adalah satu bentuk eksploitasi yang saat ini mewabah dalam lalu lintas hubungan manusia di Indonesia. Banyak kasus yang terjadi, selain kasus anak jermal yang disebutkan di atas, ditemukan juga berbagai aktifitas perdagangan atau proses memindahkan anak dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial yakni, menjadi buruh anak di perkebunan, pembantu rumah tangga dan menjadi peminta-minta di banyak persimpangan jalan (lampu merah). Kegiatan ini sangat berbahaya sekali bagi pertumbuhan dan keselamatan anak itu sendiri, tatkala sejak awal, diluar batas kesadarannya,anak-anak digiring dalam dunia kerja yang belum sanggup di pikul. Anak-anak, selanjutnya akan terbiasa dengan uang, mulai mengkonsumsi rokok (bagi anak laki-laki), terlibat dalam hubungan seksual yang menyimpang, dan pada satu titik tertencu cenderung untuk melakukan kejahatan.
Anak-anak yang bekerja di jalanan juga sangat rentan dengan kecelakaan dan kekerasan. Banyak sekali kasus sejumlah anak-anak yang harus mati dalam usia muda.
Anak-anak yang dieksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan ekonomis jelas akan kehilangan waktu belajar, bermain dan berfantasi, yang sebenarnya menjadi milik mereka. Waktu luang mereka telah dirampas pada usia yang sangat dini. Orientasi hidup mereka telah dibentuk sejak kecil untuk mengartikan hubungan kemanusian sebatas hubungan kontrak antara pihak yang membutuhkan dan diri mereka sendiri. Tangan-tangan kecil mereka telah dibiasakan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan yang selayaknya dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 32 KHA telah memberi beban kepada negara untuk melindungi anak-anak ini dengan menyebutkan: “ negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbhahaya atau mengganggu pendidikan, atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spritual , moral atau sosial anak.
Satu contoh eksploitasi yang selama ini juga tidak banyak diungkit ke permukaan adalah perlakuan kekerasan yang dialami oleh anak-anak yang diduga telah melakukan kejahatan (anak yang berkonflik dengan hukum). Para pelaku cilik kejahatan ini acap kali mengalami eksploitasi dalam bentuk penyiksaan, perlakuan ataupun hukuman yang tidak setimpal (perampasan kebebsan/kemerdekaan secara semena-mena) oleh para polisi, jaksa, hakim dan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam lembaga pemasyarakatan. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini, diperlakukan secara berbeda dengan pelaku kejahatan yang dewasa. Namun dalam prakteknya, anak-anak ini tidak mendapatkan hal tersebut. Di tingkat kepolisian mereka disatukan dengan tersangka tindak pidana dewasa lainnya. Di tingkat kejaksaaan, sering ditahan untuk waktu yang melebihi dari batas waktu. Dan di dalam proses peradilan selalu menerima vonis penjara dari hakim, seolah-olah hanya itulah ancaman hukuman yang tersedia bagi mereka. Padahal pilihan hukuman penjara dalam KHA dan aturan hukum internasional lainnya haruslah menjadi pilihan terakhir bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada mereka. Masih ada pilihan lain, seperti dikembalikan kepada orang tua, mendapatkan pengasuhan dari satu lembaga sosial yang ditunjuk negara atau menjadi anak negara.
Hambatan-hambatan yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak karena tidak ada kerjasama antara pihak-pihak dari instansi terkait, yaitu Pemerintah Daerah, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pembinaan, pemeliharaan dan perlindungan hak-hak anak, ditambah Iagi ketidakpedulian masyarakat sebagai orang tua asuh, dan kurangnya pengetahuan orang tua terhadap pendidikan dan kebutuhan hak-hak anak. Kemudian Pemerintah Daerah pun tidak melakukan sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat luas, dan kurangnya kesadaran pihak eksekutif dan legislatif tentang masalah anak terlantar dan anak jalanan. Sebab-sebab terjadinya hambatan karena tidak ada peraturan dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang khusus mengatur tentang perlindungan anak terlantar dan anak jalanan dalam peraturan daerah.
Peran Pemerintah dalam mewujudkan peraturan dan undang-undang perlindungan anak, baru pada tahap memberikan bantuan dana untuk anak-anak terlantar di panti asuhan, sedangkan untuk anak jalanan baru dibuat rumah singgah dan ditambah biaya-biaya buku bacaan sekolah bagi anak yang tidak mampu dengan cara mendatangi ke sekolah-sekolah. Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota supaya membuat secara khusus peraturan daerah mengenai anak terlantar dan anak jalanan. Pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat diharapkan dapat membangun panti asuhan dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga anak-anak yang dilatih ketrampilan di panti tersebut, kelak dapat merubah taraf hidupnya ke arah yang lebih baik. Kemudian &sarankan juga kepada orang tua atau wali supaya dapat melakukan hadhanah (mengasuh anak) dengan penuh tanggung jawab supaya perhatian, kasih sayang dapat terbentuk dalam jiwa anak, sehingga anak tidak terlantar dan tidak turun ke jalan, serta dapat terpenuhi hak-hak anak secara seimbang.
Subscribe to:
Posts (Atom)